Akhirnya posting lagi
BOM Mengubah Segalanya.
Teror Bom di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton (Jum'at ,17 Juli 2009) di Kawasan Kuningan Jakarta seperti sentilan yang tiba-tiba membuyarkan segala skenario yang selama ini berjalan lancar. Bukan saja iklim keamanan negara kita, tetapi efek Domino di segala bidang. Batalnya klub sebesar MU adalah efek nyata yang langsung dari kejadian ini. Event ini sejatinya akan menjadi simbol aman dan kemampuan kita mengadakan pertandingan kelas dunia. Indonesia yang berencana mencalonkn diri sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 mundur teratur karena kejadian ini.
Satu Kejadian Berefek ke Berbagai Bidang.
Teror Bom kali ini seperti mengubah semua proses di berbagai bidang kita kembali mundur lagi. Proses Demokrasi dan Politik yang sangat dinamis dan teduh beberapa tahun ini kembali terusik.
Pernyataan SBY tentang ada sekelompok golongan tak puas dengan hasil pemilu dan dijadikanya dia sebagai sasaran teror seakan membuat ekskalasi perpolitikan menjadi panas setelah aman selama Pemilu dan Pilpres berlangsung. Entah apa maksud presiden membuat spektrum masalah menjadi melebar. Bisa jadi pernyataa SBY memang benar, tetapi bisa jadi terlalu dini menyimpulkan. Yang Jelas Iklim Politik ke depan mungkin tak semulus pasca Kesuksesan Pemilu 2009 beberapa hari kemarin.
Di bidang Pariwisata, jumlah wisatawan yang bergrafik meningkat beberapa tahun ini harus dimulai dengan kembali meyakinkan dunia akan keamanan Indonesia untuk mempertahankan iklim positif ini. Iklim pariwisata kembali ketar-ketir menghadapi kejadian ini. Traumatik Bom Bali I dan II kembali menghantui para pelaku jasa sektor ini.
Di bidang Sosial keagamaan tentunya akan kembali diliputi isu-isu lama yang selama ini telah hampir hilang. Kelompok Jama’ah Islamiyah yang notabene dicitrakan sebagai kelompok Islam radikal dan bercitra teroris ternyata belum mati, setidaknya itu analisa awal media atas kejadian ini. Gembong lama kelompok Nurdin M Top Cs tentu akan kembali di buru ke berbagai daerah secara intensif . Tentunya ujung-ujungnya berdampak pada Umat Islam yang selama ini selalu menerima getah atas kejadian teror yang berlangsung.
Semoga semua dugaan saya ini salah. Teror bom di Kuningan itu kita harapkan cuma upaya sekelompok masyarakat minoritas yang tak puas dengan keadaan Dunia, sehingga selalu cari gara-gara.
Pertanyaannya Kenapa masih saja ada segelintir orang yang senang menebar kedengkian. Satu Kedengkian akan menyulut kedengkian yang berkepanjangan, bahkan sangat susah untuk dihentikan.
Semoga Kita Semua Bisa bersatu dan saling menguatkan menghadapi semua Teror ini.
Satu kata kita harus tetap Optimis.
KOALISI>>AMBISI>>GALAGASI...??
Sekedar Berekspresi saja.
Berusaha tak banyak kata....
Karena beribu kata telah memenuhi ruang kita tiap harinya..."PENUH"
Tak tahu sebenarnya untuk siapa mereka bicara dan berbuat..
KOALISI atas Nama AMBISI..
GALAGASI politik kesana kemari, seperti tanpa Nurani..
Akhirnya semua seperti sebuah kesepakatan...Kita lihat saja nanti.
Tapi sepertinya telah terlanjur Basiii...
REKONSILIASI
Bukan maksud mendramatisir keadaan, karena kata itu akan tepat digunakan dalam untuk mendamaikan sebuah persoalan- semisal konflik-. Sekedar meminjam kata sebagai langkah awal diri ini kembali menggairahkan rasa yang sempat terjerembab karena berbagai hal. Kesibukan dan rutinitas memang secara perlahan memandulkan hasrat menulis yang sebenarnya masih perlu banyak nutrisi melanjutkanya.
Kecil tapi tak mudah, sekedar mengungkapkan apa yang berkelindan di otak setiap harinya. Ditambah virus M yang semakin menjadi-jadi menambah stamina menulis semakin melayu.
Banyak peristiwa yang pastinya aku lewatkan. Pemilu dan gempita perpolitikan adalah tema begitu-begitu saja namun tak akan pernah membosankan. Peristiwa lainnya yang tak kalah seru juga sepertinya aku sia-siakan. Weekend seru dan segala rutinitas pengisi "jeda" kehidupan tak kalah berbobot sebenarnya bila sempat merekamnya dalam tulisan. Tapi akhirnya "Ya Sudahlah", kata terakhirku bila tak lagi diri ini punya argumen menghindar.
Makna rekonsiliasi sebenarnya cuma upaya pemantik diri kembali ke "hasrat semula" yang sejenak pulas terbuai dunia rutinitas. Kucoba untuk berekonsiliasi dengan waktu, dengan sejenak yang berbekas bernama tulisan. Sejenak memaksa diri menitipkan ungkapan ringan di ruangan ini. Rekonsiliasi?...entah pas atau tidak aku meminjam istilah ini, tapi yang pasti saat ini aku merasa kata ini terasa "dahsyat"sebagai upaya bangun dari tidur panjangku, hehe...
OH IKLAN....OH CALEG...
Sejenak saja bikin poster anti tesis iklan politik Caleg.
Sekedar berujar melawan arus..., untuk meyentil iklan kampanye yang seragam ....
Iklan Kampanye yang saling klaim keberhasilan dan pengabdian....
Iklan Kampanye yang Narsistik....
Iklan Kampanye yang memanipulasi keadaan..
Iklan kampanye yang segala sesuatu nampak indah.
Bisakah Anda lebih Peka...?
"Perempuan Berkalung Sorban" yang Melelahkan...
Perlawanan seorang santri muslimah anak kyai, perjuangan mendapatkan cinta sejati dan segala ketidakadilan bagi wanita. Mungkin sederet hasrat tersebut yang akan disampaikan Hanung dalam film terbarunya. Sepanjang durasi Perempuan Berkalung Sorban, mau tak mau kita teringat film fenomenal Hanung sebelumnya; Ayat-ayat Cinta yang sangat terasa sepanjang film. Kali ini kisah yang diangkat menurut Hanung ini memang rentan kontroversi. Film ini diangkat dari Novel dengan judul sama karangan Abidah El- Khalieqy.
Bercerita tentang Annisa (Revalina S Temat)anak kyai Hanan dari pesantren Al-Huda yang sedak kecil menerima perbedaan perlakuan di keluarga hanya karena dia perempuan. Ketidakadilan ini sekan mendapat media yang tepat untuk berbagi dengan Khudori (Oka Antara), paman jauh dari pihak Ibu Annisa. Disamping tukar pikiran yang sangat ‘chemistry’, benih cinta tumbuh namun terbentur tradisi kolot yang dipegang keluarga dan kultur pesantren.
Singkat Cerita Annisa dijodohkan dengan Samsudin (Reza Rahadian) anak seorang kyai kaya karib Kyai Hanan. Sedangkan Khudori hanya menyesali nasib karena harus membunuh perasaan cintanya selama kuliah di Mesir. Selanjutnya cerita sangat padat meluncur sepanjang film. Kekerasan rumah tangga yang dialami Annisa dan Kisah cinta yang datang kembali antara Khudhori dan Annisa yang berujung fitnah kepada keduanya berzina adalah klimaks yang belum selesai. Kehidupan Annisa baru sebagai aktifis di bidang advokasi perempuan sampai akhirnya menikah dengan Khudori dan punya anak adalah gambaran klimaks kedua (atau entah ke berapa), Sampai Khudori yang meninggal secara tragis. Sampai dengan ending cerita tentang terbukanya pikiran Pesantren Al-Huda dengan bacaan dunia luar untuk santrinya, pesan sangat gamblang tersampaikan. Kesetaraan, Keadilan dan arti Kebebasan yang sebenarnya dapat dengan mudah kita dapatkan dari adegan yang serba jelas sepanjang film.
Menurutku beberapa adegan yang menyatakan pemberontakan seorang wanita atas kungkungan budaya dan dogma ajaran agama selama di pesantren digambarkan dengan agak provokatif. Ini yang menjadi satu hal hal yang kurang tergambar halus. Hubungan personal antar Annisa dan Khudori seharusnya lebih bisa menguras emosi penonton tampak datar di sana-sini. Meski demikian Oka Antara menunjukkan kemampuan maksimalnya berperan menjiwai sosok Khudori yang lemah lembut dan sabar. Selebihnya tokoh besar lain yang muncul bermain dalam tataran standart kalau melihat pengalamanya.
Durasi Film yang sangat panjang membuat film sangat menguras tenaga bahkan capai di tengah cerita. Banyak adegan yang sangat dipertanyakan kebutuhannya, membuat film ini terasa membosankan di beberapa adegan. Adegan ranjang yang tak perlu, kekerasan yang tersa vulgar. Bebarapa adegan lain yang membuat durasi yang melelahkan sangat membuat film ini benar-benar kurang menggigit.
Bisa jadi sudut pandang lelaki-ku menganggap tema yang diangkat sebenarnya sudah kurang “aktual” saat ini. Gambaran sebuah pesantren yang masih kaku menerima iklim keterbukaan dan modernisasi bisa jadi masih ada di beberapa daerah. Tetapi masalah kekolotan terlihat agak konyol bila tergambar dalam bingkai ungkap hiburan modern saat ini. Orang tahu setting Film (sekitar tahun 90an) masih dalam suasana tertutup dengan keterbukaan. Tetapi apakah perlu adegan pembakaran buku diperlihatkan sevulgar itu. Bisa Jadi kita ketawa melihat buku “Bumi Manusia” dan buku yang dianggap "kekirian" lainya dibakar dan dianggap sesat, sedangkan keluar bioskop sangat dengan mudah membaca bukunya di Toko sebelah. Sebuah aktualisasi tema yang kurang tergarap dengan maksimal. Disamping musik pengiring yang terasa kurang mengangkat, kembali bila dibanding dengan pendahulunya; AAC.
Aku tak tahu dengan apa yang menjadi titik lemah utama film Hanung Kali ini. Tetapi satu catatan adalah; Terlalu banyak yang mau disampaikan dengan adegan. Ini bisa jadi proses kreasi Hanung yang kurang meloncat jauh lagi Pasca AAC.
Entahlah…, tapi tetap saja aku kasih lima point gratis untuk Hanung bila kita bandingkan dengan film lokal horor yang membuat kita merasa semakin mundur aja dalam ber-film. He...2
Pada Suatu Waktu, di Ujung 2008
Cerita yang terlambat. Sambutan pergantian tahun baru yang sederhana saja, dan Awal tahun yang tak punya resolusi tertulis (yakin saja dengan resolusi di hati). Segalanya seperti kereta cepat yang sekejap lalu melintas sebuah stasiun kecil. Tahun baru datang lagi sedang catatan tahun lalu belum selesai kucatat sepenuhnya.Toh semua memang harus kita lewati.Sekedar selebrasi kuhabiskan pergantian tahun di dalam kota saja. Liburan akhir tahun memang sudah jauh kurencanakan tak melakukan perjalanan jauh ke luar kota. Panjangnya hari libur tahun ini sengaja akan kulalui dengan aktifitas memanjakan kesenangan yang tertunda. Inilah rentetan kebebasan hidup yang kadang langka di tengah rutinitas.
Setumpuk buku yang semoga selesai terbaca, bersepeda ke tempat-tempat seru dan berekreasi di obyek dalam kota setidaknya cukup untuk mengasah otak dan perasaan kita yang tumpul oleh rutinitas hidup. “Gelap Mata” di Gramedia karena diskon Grand Opening gerai-nya adalah satu tugas akhir tahun ini. Tak sadar stok buku menumpuk untuk antre dinikmati sembari merasakan sepoi angin pnggir empang belakang kontrakan.
Sayangnya kontrakanku di Ciputat harus aku tinggalkan. Demi efisiensi jarak dan waktu, aku harus pindah kos. Walhasil pindahan menjadi agenda besar juga di libur akhir tahun. Menyortir koran bekas setinggi lebih satu meter adalah tugas terberat sebelum menjualnya ke tukang loakan.
Tetapi aku merasa enjoy degan liburan ini. Aku masih sempat kok bersepeda ke jalur seru para “Goweser”. Selain menikmati Jalur Pipa Gas (JPG), aku juga nekat ikut rombongan yang baru aku kenal untuk menyusuri jalur Cihuni. Jalur yang lumayan variatif; dari jalan kampung, perumahan dan menyebrangi sungai dengan Rakit adalah liburan tak kalah seru di pinggiran Kota. Di sela jalur yang sebentar lagi akan berdiri perumahan BSD cluster terbaru, kita bisa sedikit beranalisis tentang realitas pertumbuhan kota yang semakin menggurita mencengkeram daerah pinggiran. Siapa sangka BSD yang dulunya “hutan karet” tempat pembuangan mayat yang angker akan menjadi sebuah kota satelit yang kinclong dan selalu diburu konsumen.
Sepenuhnya juga aku tak “nongkrong di kos” selama liburan. Kegiatan “asah gergaji” masa liburan ini bisa aku habiskan dengan berkange-ria dengan ortu dan keluarga di jakarta. Sebagai ganti tak mudik ke kampung, kedua ortu akan bersilaturahmi di Jakarta. Selain menikmati malam pergantian tahun di Jakarta, jalan-jalan keluarga di Jakarta adalah hal baru selama jadi orang rantau di Jakarta. Belanja ke Pasar Tanah Abang sekedar menikmati nuansa belanja ala ibukota. Dilanjutkan mengunjungi Monas di kala senja di akhir 2008, sampai akhirnya menghabiskan tahun 2008 bersama anggota keluarga lengkap di Jakarta.
Lebih lengkap kebersamaan, bersama handai taulan merayakan tahun baru dengan rekreasi ke Taman Mini di sisa libur awal tahun. Kebersamaan yang seakan membasahi dahaga kerinduan yang bermuara kebahagiaan. Kebahagiaan kecil yang kadang tak kita syukuri.
Demikianlah, bagaimanapun liburan itu berjalan, tak terpengaruh dimana akan kita habiskan. Mengutip kembali SMS yang kukirim ke seorang temanku;
Tak perlu harus selalu ke Pantai untuk lapangkan hati kita , yang penting menjaga perasaan Hati kita seluas samudera.
Tak perlu harus selalu naik ke gunung , yang penting kita bisa menjaga mimpi dan Cita kita setinggi gunung…Ungkapan dari seorang Pujangga amatiran imbuhku.
Oh Liburan…kapan datang Lagi?...
Secuil doa hanya bisa kuucap menyambut tahun yang baru:"Semoga tahun ini lebih baik lagi....."
3 Doa 3 Cinta…
Diantara film lokal -yang beredar di akhir tahun 2008 -rata-rata tak menarik untuk diapresiasi, film "3 Doa 3 Cinta" menjadi satu yang cukup membuat kita penasaran untuk menontonnya. Secara kasat mata bila sekilas melihat poster film, mungkin tak ada yang lebih menarik selain dua tokoh yang dipajang; Dian Sastro Wardoyo dan Nicholas Saputra. Bisa jadi keduanya menjadi satu-satunya daya jual film ini secara marketing. Tetapi terlepas dari dua tokoh utama yang kembali berduet dalam satu film, tema liku-liku kehidupan pesantren yang diangkat menjadi satu bahasan menarik. Selain itu film mendapat tempat di dua Festival film luar negeri; Pusan International Film Festival 2008 dan Dubai International Festival 208. Selain prestasi itu film ini mencatat 7 nominasi FFI 2008 lau meski cuma menang satu kategori di Pemeran Terbaik Pria oleh Yoga Pratama. Selebihnya mungkin sebatas film yang numpang lewat di tengah masih gencarnya film genre “Komedi Seks” dan “Horor Rendahan” yang tak juga kunjung habis - dan malah kelewatan- meneror selera penonton kita.
Sepengetahuan aku, tema pesantren di “3 Doa 3 Cinta” memang jarang diangkat ke layar lebar komersial. Secara budaya tulispun dulu di masa kuliah dan masih mengikuti perkembangan sastra islami generasi FLP lewat Novis-nya, seringkali memang penulis mengangkat realitas pesantren salaf tradisional - terutama yang masih banyak terdapat di pedalaman Jawa - ke dalam setting ceritra. Tetapi aku melihat selalu saja ada keterbatasan gerak sastra genre ini di masyarakat muslim secara jamak.
Kembali ke tema film “TDTC”, secara ide memang sangat keluar dari mainstream tontonan saat ini. Realitas Pesantren yang tradisional yang masih serba terbatas, bahkan jadul dan terbelakang menjadi sebuah tontonan yang tak sengaja menjadi lelucon yang sederhana namun menghibur. Berpusat pada tiga santri yang telah menjadi “sohib sejati” di keseharian pesantren. Tiga santri yang selalu menulis doanya (dalam bahasa arab) di tembok tua belakang pesantren seakan menjadi gagasan inti cerita yang dikembangkan sutradara. Huda, Rian dan Syahid adalah tiga santri dengan latar keluarga yang berbeda. Disamping tiga aktifitas yang sama-sama dijalani, ketiganya mempunyai impian masa depan yang berbeda yang diikat dalam satu semangat; “menjadi seorang yang berarti bagi kelauarga".
Huda mencari Ibunya yang sedari kecil meninggalkan di pesantren Kyai Wahab, Rian akan meneruskan usaha Foto dan Video Syuting Pernikahan dan Syahid berjuang dan selalu berdoa untuk sang Bapak yang dibelenggu oleh penyakit gagal ginjal plusmasalah ekonomi yang membelenggunya. Ketiganya berupaya menjalani ikhtiar masing-masing. Sebagai tokoh utama Huda (Nicholas Saputra), bertemu seorang “Artis Dangdut Pasar Malam” bernama Dona Satelit yang dimainkan Dian Sastro Wardoyo. Agak jadi tanda tanya juga tokoh besar Dian Sastro cuma mendapat peran tempelan di film ini. Adegan “menyanyi dan bergoyang” dan adegan latihan casting yang dinorak-norakkan adalah hadiah dan tantangan dari Nurman Hakim untuk Dian berakting di luar image selama ini.
Adegan cerita sangat enak diikuti sampai dengan setengah lebih film. Tetapi alur yang sangat lambat membuat kegusaran akan ending seperti apa yang ditampilkan Nurman Hakim.Tiga tokoh utama dengan impian masing-masing yang sangat kuat sepertinya kurang kuat disambungkan dengan satu benang merah peristiwa. Ketiganya diatangkap oleh pihak kepolisian adalah satu peristiwa kurang kuat daiantara banyaknya masalah yang mengemuka. Ending cerita yang bahagia tentu membuat pertanyaan sedikit terjawab walau tak sepenuhnya.
Kisah Cinta sesaat Huda dan Dona yang tak dilanjutkan tentu jadi tanda tanya kecil, meski diceritakan keduanya berjalan pada treknya masing-masing. Dona tetap menyanyi dan Huda menikahi Farokah (anak kyai Wahab) dan meneruskan pesantrenya. Gambarkan banyaknya hal yang ingin diakomodir sutradara adalah tentang Poligami di dalam kultur Islam. Kyai Wahab yang tak juga mendapat keturunan laki-laki sedangkan rekan kyainya yang menikah keempat kalinya, adalah realitas yang coba diselipkan Nurman Hakim diantara padatnya pesan yang akan disampaikan.
Disamping segala keterbatasan garapan Nurman Hakim ini. Setidaknya film menggambarkan potongan sketsa kehidupan santri pedalaman beserta realitas dan mimpinya. Realitas pesantren yang serba lugu, terbelakang dan terbatas tak menghalangi untuk selalu punya mimpi. Dunia bisa membatasi hidup kita, tetapi bukan mimpi dan pikiran kita.
Memori Kampus…
Sabtu kemarin menyempatkan diri bersepeda dengan teman sekantor menyusuri jalur sepeda kampus UI. Jalur tanah basah dan licin karena semalam ternyata Depok diguyur hujan deras. Meskipun licin, kita hajar saja jalur hutan UI meskipun beberapa kali jatuh karena hilang keseimbangan. Sehabis mencoba trak super licin yang mengelilingi danau dan hutan kampus elit ini kami mencari sarapan pagi sekitaran daerah Kukusan, yang letaknya di belakang kampus.
Suasana kampung di sekitar kampus ini mengingatkanku tentang suasana tiga sampai delapan tahun lalu ketika masa kuliah. Meskipun tak kuliah di UI, toh nuansa sekitar kampus tak ada beda UI dan UNS. Kos-kosan, warung makan, tempat Fotocopy, Warnet dan apalah yang menyediakan tetek-bengek kebutuhan hidup mahasiswa.
Sehabis sarapan kembali masuk kawasan kampus yang ternyata jauh lebih luas dari kampus UNS-ku dulu. Walau nuansanya sama dengan alam yang mendamaikan, bangunan yang tercipta lebih punya citarasa dalam desain. Satu area yang menjadi daya tarik baru di kampus ini selain Danau dan gedung rektoratnya yang sangat citrawi. Adalah Jembatan “Teksas” atau teknik-sastra. Jembatan penghubung fakultas teknik dan sastra menjadi penanda baru yang dibanggakan oleh seluruh civitas UI.
Jembatan kecil setapak yang hanya bisa dilalui lalu lalang pejalan kaki dan sepeda adalah wujud sedikit citarasa tempat yang berhasil diciptakan pihak kampus. Merah dan kuning tampak menonjol di tengah lingkungan hijau dan luasnya danau. Meski tak bersih, nuansa kampus yang menyenangkan tetap saja aku rasakan.
Bila waktu dulu aku kuliah di Solo waktu yang tak akan kulupakan adalah datangnya hujan pertama yang akan diiringi oleh gugurnya bunga pohon angsana di sisi jalan hampir sepanjang jalur kampus. Gugurnya bunga yang nyaris menutupi aspal dan paving blok jalan seakan mengantar kita ki Jepang sejenak kala. Berjalan diantara bunga berguguran. Romantisme yang yang sayang sampai lulus dan terdampar di Jakarta belum terabadikan lewat kamera digital.
Jembatan Teksas dan bunga angsana yang gugur adalah dua wujud yang beda. Tapi sepertinya jadi satu wujud entitas yang kuat tentang sebuah memori. Memori tentang indahnya sebuah tempat untuk menuntut ilmu....
Berkurban
Hari ini masih terhitung Hari Tasyrik, dimana masih dalam suasana Idul Adha atau Idul Qurban. Makna kurban sendiri akan selalu aktual sebagai sarana refleksi kehidupan. Kurban adalah sesuatu sarana mengikhlaskan kepunyaan atau kesenangan untuk kesenangan dan kebahagiaan yang lebih hakiki.
Pengorbanan dalam kehidupan kita sehari-hari sering terwujud dari pemaksaan kita untuk sejenak merasakan sedikit ketidakenakan demi keenakan yang lebih di masa datang kita. Sacrifice atau pengorbanan sepertinya telah akrab di dalam kehidupan rutin kita. Misal kita harus merelakan sebagian penghasilan kita demi kepuasan (bermakna sepiritual mungkin) ataupun kepuasan lainnya di masa yang akan datang. Charity , zakat, Kurban itu sendiri adalah satu contoh kecil dari pengorbanan kecil itu untuk berbagi (share) dengan sesama. Satu hal yang juga penting adalah makna berbagi yang tampaknya akan selalu aktual dalam kehidupan kita. Seseorang yang mau berkurban dan berbagi untuk sesama adalah Pahlawan, demikian inti pesan sebuah iklan partai politik (Tapi kok jadi beda artinya jika menyangkut partai ya?...).
Makna Kurban yang lainnya adalah sifat keikhlasan yang selalu menjadi modal dan landasan hidup kita. Ke-Iklhasan Nabi Ibramahim AS dan putranya Ismail AS adalah wujud ke-ikhlasan yang nyata sebagai teladan. Sebagai seorang ayah dari seorang anak yang sangat dicintai, harus ikhlas mengorbankan anaknya demi satu perintah Allah SWT. Keikhlasan dan keyakinan telah melandasi peikiran Ibrahim AS untuk kebahagiaan dan keridloan Allah yang bersifat keniscayaan.Demikian juga keikhlasan melandas jiwa Ismail AS untuk mempercayai (trust) meskipun hanya sebuah perintah, lewat mimpi malah, ayahanda tercintanya.
Ajaran Kurban mencerminkan keunggulan manusia dibanding makhluk lain. Sifat agung manusia yang harus punya ; Pemikiran, Keyakinan, dan Keikhlasan telah secara menyatakan kita bukan bangsa binatang yang secara keji tega memangsa kawan seiring, menggunting dalam lipatan atau sifat liar dan menghalalkan segala cara lainya.
Ajaran Kurban adalah wujud ikrar kita untuk menjadi manusia yang iksan yang selalu berusaha membunuh sifat kebinatangan dalam diri kita yang sering tidak kita sadari. Beringas dan sering tak sabar menghadapi keadaan sekitar kita.
"Ritual Gunung Kemukus" di Gramedia Matraman
Mitos sepertinya menjadi satu sisi yang mengiringi realitas kehidupan masyarakat kita, entah dipercayai ataupun cukup berhenti pada posisi mitos belaka.
Sabtu kemarin sempet mengikuti Bedah Buku sebuah Novel berlatar Mitos (atau kenyataan sejarah?) dari penerbit medioker berjudul “Ritual Gunung Kemukus’ di Fuction Hall Gramedia Matraman lantai 2 Jakarta pusat. Dengan pembicara : Ahmad Sobary, Happy Salma dan F. Rahardi sebagai penulis, diskusi lumayan menarik diikuti. Tentu saja bercerita tentang mitos yang berkembang seputaran tempat wisata di sekitaran kampung halamanku di Sragen.
Ritual “srono” atau upaya meminta peningkatan kesejahteraan (kekayaan) dalam usaha mereka di Tempat Wisata Gunung kemukus ini sangat menarik diceritakan. Cerita tentang Pangeran (tokoh yang diziarahi) sendiri memang banyak sekali versi yang berkembang di masyarakat.
Cerita tentang Pangeran Samudra yang berkembang di masyarakat sendiri kurang lebih begini:
Pangeran Samudra sebagai anak Girindrawardhana atau Raja Brawijaya VI, dan Nyai Ontrowulan sebagai salah satu selir sang raja saling jatuh cinta. Sedangkan Prabu Brawijaya sendiri telah Moksa seiring dengan bubarnya majapahit. Mereke ke Demak untuk menikah, tetapi karena kecantikan Nyai ontrowulan, banyak petinggi Demak yang Jatuh cinta padanya dan mengejar-ngejar dia dan menggagalkan pernikahan mereka. Mereka Lari ke selatan untuk menyelamatkan diri. Di sebuah daerah hasrat keduanya tidak bisa ditahan lagi, sehingga mereka melakukanya di alam terbuka. Ketika itulah pasukan demak datang dan hubungan mereka terhenti. dan mereka dibunuh. Mereka dikubur dalam lubang yang sama. Tempat mereka erbunuh mengalir air yang jernih dan dinamai Sendang Ontrowulan. Dan Di makam mereka ada kukus (asap) dan adaa suara menggelegar; “wahai Manusia, barangsiapa ma datang ke tempat ini dan bisa menyelesaikan hubungan suami istri kami yang belum selesai, sebanyak tujuh kali, maka segala permintaan kalian, akan dikabulkan oleh Dewa Bathara yang Maha Agung.
Berbeda dengan versi yang berkembang di masyarakat, Pemerintah lewat Pemda Sragen mengubah cerita dengan tujuan memperbaiki citra kawasan wisata; Cerita yang berkisah tentang seorang tokoh penyebar agama Islam di sekitar daerah bukit ini (kelak dinamakan Kemukus). Pangeran Samudra meninggal dalam dakwah kemudian dikubur di atas bukit di bawah pohon nagasari. Ibu tiri pangeran yang bernama Nyai Ontrowulan sangat bersedih atas kematianya sehingga menyusul ke daerah ini hingga meninggal. Nyai Ontrowulan dikubur di sebelah kuburan anak tirinya ini.
Sebagaimana di Novel ini, aku juga tak tahu pasti alasan pemerintah punya versi lain dengan versi berkembang turun-temurun di masyarakat.
Sudut pandang Pemerintah daerah jelas sangat ambigu sebagai upaya membersihkan kesan negatif tempat ini dengan tujuan pragmatis, meningkatkan jumlah pengunjung dan pemasukan PAD.
Sejak kapan cerita ini diyakini oleh masyarakat dan Sejak kapan pastinya tradisi ziarah dan wisata ini berlangsung, aku kurang bisa memastikan. Sejak aku kecil dan masih hidup di sekitar Gunung Kemukus sampai proyek Waduk Kedung Ombo yang memisahkan area ini dengan kampungku sekarang.
Mungkin bagi yang belum mendengar tentang tempat ini pasti tidak percaya masih ada kepercayaan di masyarakat tentang ritual "berbau prostitusi" ini. Memohon diberi kemudahan dalam berusaha di Gunung Kemukus melalui perantara Pangeran Samudro da Nyai Ontrowulan secara nalar ketauhidan (sudut pandang agama) jelas sebuah kesyirikan tingkat tinggi. Mitos tujuh kali melakukan hubungan suami istri dengan pasangan yang sama namun bukan dengan istri atau suami kita sepertinya kok memang sebuah pemikiran “yang tak masuk akal. Tetapi terlepas dari semua itu, inilah kenyataan dan ironi di masyarakat kita.
Wujud perlawanan ketidakadilan?
Satu bagian di Novel “Ritual Gunung Kemukus’ juga menyitir tentang adanya bentuk perlawanan dari ketidakadilan yang dialami masyarakat miskin. Dalam novel yang diwakili oleh tokoh Sarmin seorang Penjual Bakso yang terlilit beban ekonomi. Atas desakan istri juga dia menjalani "srono" ini untuk meminta usahanya laris. Pada akhirnya tokoh ini tersadar dengan sebuah realitas manusiawi usaha yang berhasil harus dengan jalan dan usaha yang benar, bukan dengan tujuh kali ke Gunung Kemukus menjalani "ritual melenceng" dengan istri orang lain. Tokoh ini digambarkan berjuang untuk keluar dari ketidakadilan. Jika seorang penguasa dengan bebasnya melalukan segalanya tanpa rasa bersalah, tak ada yang salah dengan usahanya demi eksistensi hidup anak istrinya.
Sampai pada titik ini aku kurang sepakat dengan alasan perlawanan ketidakadilan. Ketidakadilan bisa jadi tantangan kehidupan untuk kita belajar menuju keadilan. Meskipun begitu kita tak sepenuhnya bisa menghakimi orang yang percaya akan ritual mencari pesugihan ini. Pemaksaan kebenaran kepada sesama adalah wujud ketidakdilan juga kata M. Sobary menanggapi hal ini.
Yang menjadi kunci adalah kepercayaan di dalam diri kita masing-masing. Kita harus menanamkan fundamentalisme ketauhidan dalam diri kita sendiri. Kepercayaan spiritual seseorang datang dari proses yang tak akan bisa dipahami orang lain. Melakukan ritual ini di Gunung kemukus adalah untuk yang percaya dan kita tak bisa memaksa untuk tidak percaya.
Bedah Buku dan launching Buku " Ritual Gunung Kemukus" di Gramedia Matraman sabtu kemarin sepertinya memberikan satu kenyataan yang sebelumnya jauh dari sudut pandang kita.
Jakarta, 21 Februari 2012 (J-21022012)
Tanggal ini sekitar tiga puluh delapan bulan lagi, akan terjadi sebuah kejadian yang tak akan dilupakan oleh warga kota ini;
Hari ini tanggal 21 Februari 2012 -hari yang unik secara kalender- Jam menunjukkan pukul 13.13 WIB. Entah kebetulan atau tidak seluruh kendaraan di kota ini mengalami macet total di hampir seluruh kota Jabodetabek sampi ke gang kecil sekalipun. Kejadian berawal dari pemadaman listrik kota Jakarta dan sekitarnya (biasa kan pemadaman bergilir). Semua aktifitas kantor dan kegiatan lain berhenti dan karyawan terpaksa pulang berbarengan. Berbarengan dengan pemadaman listrik, sistem Traffick manajemen Lalu lintas secara tiba-tiba mengalami kerusakan hampir menyeluruh di penjuru kota. Kemacetan benar-benar menunjukkan titik puncak dari "Keadaan stagnasi" Lalu lintas Kota Jakarta.
Siang ini adalah siang tersial dari warga kota. Secara kebetulan Cuaca menunjukkan titik kulminasi tertinggi walau Februari masih dalam hitungan musim penghujan. Anomali iklim membuat cuaca benar-benar panas sampai hampir menyentuh angka 40 derajat Celcius. AC kendaraan tidak banyak menolong suasana panas pengendara. Suasana sangat membuat kesal bahkan berlangsung sangat lama hingga berjam-jam.
Suasana yang sangat kacau ini berpuncak pada satu kejadian : Seluruh pengendara tanpa kecuali keluar dari mobil (untuk yang bermobil) dan meninggalkannya di tengah jalan menuju tempat lebih nyaman (Mall tentunya). Bagi pengendara motor menaruh seketika sepeda motornya di tengah kemacetan. Secara spontan mereka mengumpat terhadap kotanya "Oh Benar-Benar Kota Yang Memuakkan"...(maaf sekedar Ilustrasi saja)....
Tentunya Kejadian ini memang khayalan dan rekaanku belaka. Tanggal rekaan biar keren, keadaan rekaan(dan serba kebetulan ) biar tambah ilmiah. Spontan saja punya ide cerita gila ini. Di tengah banyaknya prediksi kejadian di masa datang, tema stagnasi lalu lintas jakarta menjadi tema yang selalu menarik. Benang kusut lalu lintas Jakarta sangat menujukkan kegagapan pemegang kebijakan kota ini membuat lebih baik. Isu teranyar adalah usulan kenaikan tarif parkir. Di tengah masih acak-acakanya perpakiran Jakarta, tampaknya usulan ini dianggap upaya tangan panjang oknum menambah setoran (baca; premanisme) yang justru digaungkan oleh Kapolri Baru.
Pembenahan Pola Transportasi Makro (PTM) Jakarta bukan tanpa upaya solusi serius dari Pemerintah. Simak saja program ke depan Pemerintah:
1.Transjakarta ( TiJe atau Busway)
Dimulai oleh Transjakarta (dikenal dengan Busway) sebagai moda angkut massal dengan memakai sebagaian badan Jalan untuk jalur khusus Bus berdaya angkut besar. Hasilnya bisa kita lihat setelah diluncurkan empat-lima tahun silam nampaknya sebagian masyarakat berpendapat Dengan jumlah saat ini sekitar 10 koridor (rencananya 15 koridor, Kompas 17-11-08) Transjakarta justru menambah kemacetan dimana-mana. Keberhasilan Transmilenio sebagai proyek acuan TiJe di Bogota Kolombia nampaknya sangat beda karakter lalu lintas maupun habit bertrasportasi warga Indonesia dan Kolombia.
2.Waterway.
Proyek selajutnya yang lebih dibilang kurang terencana (baca :gagal) adalah Waterway. Proyek yang hanya bertahan seumur jagung terkendali elevasi sungai di Jakarta yang tak mundukung.
Yang direncanakan
Proyek trasportasi massal selanjutnya memang menunjukkan langkah lebih serius. Moda yang lebih modern dan dengan daya angkut massal seperti;
1.Proyek Monorail
Proyek yang direncakan untuk angkutan Massal di lingkar District Bisnis dan sudetan arus tengah kota memang berpotensi mengurangi beban jalan oleh kendaraan umum. Bila Proyek ini macet, lebih karena kurang cakapnya skenario pemerintah bekerjasama dengan pihak Investor sebagai proyek yang menguntungkan.
2.Proyek Mass Rapid Transit (MRT)
Proyek angkutan Mahal ini direncanakan memotong jalur lewat bawah tanah dari daerah pinggiran ke tengah kota. Direncanakan proyek awalnya adalah Lebak Bulus sampai Dukuh atas (Jl. Sudirman) Proyek ini yang paling potensial sekaligu super mahal. Jika ini terlaksana Jakarta akan jadi kota super modern dan lebih bergerak cepat.
3.Kereta Api Bandara
Kereta ini sebagai pintu penjemput penumpang Pesawat di tengah kota. Dengan sistem City Check In di stasiun keberangkatan akan mengurangi "waktu sia-sia" kita menunggu Pesawat di Bandara. Rencananya Kereta ini mengurangi penumpukan kendaraan di satu-satunya jalur (Jalan Tol) yang banjir besar tahunlalu.
Disamping proyek utama dari PTM tersebut masih ada proyek pendukung lainnya yang menurutku lebih murah untuk difokuskan di awal. Jalur Kereta Api Jabotabek sangat potensial dikembangkan lebih bagus (sekarang?, mungkin lumayan saja). Jalur kereta dari Hinterland Jakarta semacam Double Track Serpong, Bekasi dan Bogor sangat menunjukkan moda yang potensial mengurai penumpukan kendaraan pribadi di jalan raya. Selain adanya kereta reguler sebagai moda trasportasi murah. Jalur ini sangat minim resiko gesekan kepentingan masyarakat bila dikembangkan lebih intensif.
Bila program PTM ini berjalan seperti rencana kejadian ilustrasi di awal tulisan kemungkinan besar tak terjadi. Melihat keadaan sekarang kita diberi dua kaca mata melihatnya. Kacamata buram yang selalu melihat keadaan serba tak menentu atau kacamata Baca yang jernih yang melihat segala sesuatu dengan optimisme.
J-21022012 adalah angka yang indah, namun akan menjadi angka sial sejarah kota ini. Ayo kita dukung dari hal yang paling kecil. Semampunya kita berapresiasi saja.Nuwun....
NB: Gambar Diambil dari sini
Ditulis karena Saat timku lagi pusing dengan Proyek Sayembara "Stasiun Kereta Api Interchange Dukuh Atas" Jakarta.