Sembilan Belas Tahun lalu...

Rentang sembilan belas tahun bukan waktu yang sebentar. Memori akan sebuah tanah kelahiran selalu memjadikan cerita indah untuk masa depan kita. Di tempat sama dalam waktu berbeda kucoba rangkai sebuah memori masa lalu. Kisah yang tak akan terhapus hanya oleh sebuah kebijakan tangan besi penguasa kala itu. Penguasa bisa menghapus sebuah peta , tapi tak bisa menghapus sebuah memori yang selalu mendasari impian kita.
Cerita ini seharusnya aku tulis sebagai cerita mudik lebaran lalu. Karena kesibukan dan ritunitas baru kali ini bisa kurangkai cerita ini. Bermula untuk mengenang kisah masa lalu, aku datang ke bekas desa masa laluku yang kini menjadi sabuk hijau genangan “Waduk Kedung Ombo”. Di sudut jembatan indah yang membentang di sungai desa, terlukis ingatan masa kecil. Masih seperti dulu, begitulah wujud jembatan ini. Masih kokoh walau terlihat kusam karena silih berganti terendam air waduk di tiap pergantian musim. Masa kecil saat mandi di kali sebagai wujud kebahagiaan anak-anak desa. Menangkap udang dan ikan dan beragam jenis mainan yang lahir dari penghargaan alam warga desa.
Sampai saat inipun, disela obrolan masa lalu dengan kerabat masih berandai bahagianya jika masih bisa berkumpul di desa kita yang sangat guyup dan makmur. Bukan tidak mungkin kita tak terimbas budaya “urbanisasi”. Kesadaran untuk berani menyatakan kata “cukup” saat itu membuat warga merasa tentram dan rukun. Esensi kemakmuran yang mustahil kita dapatkan saat ini. Aku lahir di rumah kakek-nenekku, masa kecilku juga sempat merasakan keindahan itu sampai kita pindah ke daerah lebih tinggi yang bebas dari genangan waduk (tidak jauh dari dusun kita yang tergenang). Segalanya seperti berjalan apa adanya, sebelum Sebuah Proyek Raksasa mengubah jalan hidup kita semua. Ribuan Desa tergusur Proyek Waduk Kedung Ombo. Warga yang semula terikat dalam satu dusun yang nyaman harus bepisah membuat berpuluh dusun baru karena jadi korban gusuran. Meski sebagian besar warga pindah ke daerah yang tak begitu jauh, tetap saja mengubah cerita bersama. Meskipun tak lebih dari 6 tahun aku melewati masa itu, setidaknya aku merasakan sisa memori itu.
Saat ini bisa jadi aku merasakan apa yang dirasakan oleh orang-orang tua sebelum aku apa artinya mempertahankan tanah kelahiran. Bagaimana penolakan dianggap sebagai tindakan pembangkangan Negara kala itu. Masih aku ingat saat pagi buta harus bersembunyi-sembunyi menghindaari intimidasi aparat desa untuk sekedar berkeluh kesah ke Gedung DPR di ibukota berjarak tak kurang 600 km. Aku mewakili satu generasi yang tak tahu menahu masalah utama kala itu. Generasi yang lebih beruntung dari adik dan keponakanku kini yang hanya bisa melihat sisa itu tanpa melihat cerita di balik itu.

Insya Allah Bersambung……

NB: Cerita Ini sempat tertahan di USB-ku beberapa minggu.
Tak pede dengan dengan isinya yang sentimentil. Akhirnya ku-posting setelah Kudapatkan Novel tentang "Ritual Gunung Kemukus" yang aku temukan di Indonesia Book Fair 2008 di JCC, Jakarta. Mencoba untuk menjadikan cerita dari awal dari rangkaian cerita.

10 komentar:

Ivana mengatakan...

mm...indahnya kenangan...

Anonim mengatakan...

dulu masih bersih ya... gimana dengan sekarang??

Bazoekie mengatakan...

@ivana:
he2..mello.. banget ya
@lyla:
wah sekarang masih bersih mbak jika ga musin ujan, jika ujang terendam air waduk (kedung ombo).

Anonim mengatakan...

waw jd pengen sungkem ke ortu skrg. tapi jauh...

Kristina Dian Safitry mengatakan...

sweet memory,bro. btw, jepretan sapa tuh ya. fotonya bagus lho

Anonim mengatakan...

enaknya kalo punya kenangan gini yah kang, ak ga ada kenangan di desa, secara idup di desa trus, gmn mo ada kenangan? hehehe

Anonim mengatakan...

Waduk Kedung Ombo ini pernah jadi bahasan di koran beberapa tahun yang lalu ya kalau nggak salah?

Bazoekie mengatakan...

@panda:
wah bukan hanya kang panda aja yang pengen.
@mbak dian gadis rantau:
wah jebretanya dewe.yang bagus jembatanya mbak, bukan yang moto he2
@arielz:
wah yang penting kan punya kampung tempat kita merangkai harapan to kang. indah kan itu.
@ani:
wah kedung ombo mah hanya satu mbak. tiga kabupaten yang tenggelam, Sragen, boyolali,grobogan.

Unknown mengatakan...

hmmm...mungkin cerita ini mengingatkan ku pada kampung halamanku juga...hik hik...jadi kangen masa2 kecil dulu...n

Anonim mengatakan...

kenangan masa kecil ya ^_^