Perlawanan seorang santri muslimah anak kyai, perjuangan mendapatkan cinta sejati dan segala ketidakadilan bagi wanita. Mungkin sederet hasrat tersebut yang akan disampaikan Hanung dalam film terbarunya. Sepanjang durasi Perempuan Berkalung Sorban, mau tak mau kita teringat film fenomenal Hanung sebelumnya; Ayat-ayat Cinta yang sangat terasa sepanjang film. Kali ini kisah yang diangkat menurut Hanung ini memang rentan kontroversi. Film ini diangkat dari Novel dengan judul sama karangan Abidah El- Khalieqy.
Bercerita tentang Annisa (Revalina S Temat)anak kyai Hanan dari pesantren Al-Huda yang sedak kecil menerima perbedaan perlakuan di keluarga hanya karena dia perempuan. Ketidakadilan ini sekan mendapat media yang tepat untuk berbagi dengan Khudori (Oka Antara), paman jauh dari pihak Ibu Annisa. Disamping tukar pikiran yang sangat ‘chemistry’, benih cinta tumbuh namun terbentur tradisi kolot yang dipegang keluarga dan kultur pesantren.
Singkat Cerita Annisa dijodohkan dengan Samsudin (Reza Rahadian) anak seorang kyai kaya karib Kyai Hanan. Sedangkan Khudori hanya menyesali nasib karena harus membunuh perasaan cintanya selama kuliah di Mesir. Selanjutnya cerita sangat padat meluncur sepanjang film. Kekerasan rumah tangga yang dialami Annisa dan Kisah cinta yang datang kembali antara Khudhori dan Annisa yang berujung fitnah kepada keduanya berzina adalah klimaks yang belum selesai. Kehidupan Annisa baru sebagai aktifis di bidang advokasi perempuan sampai akhirnya menikah dengan Khudori dan punya anak adalah gambaran klimaks kedua (atau entah ke berapa), Sampai Khudori yang meninggal secara tragis. Sampai dengan ending cerita tentang terbukanya pikiran Pesantren Al-Huda dengan bacaan dunia luar untuk santrinya, pesan sangat gamblang tersampaikan. Kesetaraan, Keadilan dan arti Kebebasan yang sebenarnya dapat dengan mudah kita dapatkan dari adegan yang serba jelas sepanjang film.
Menurutku beberapa adegan yang menyatakan pemberontakan seorang wanita atas kungkungan budaya dan dogma ajaran agama selama di pesantren digambarkan dengan agak provokatif. Ini yang menjadi satu hal hal yang kurang tergambar halus. Hubungan personal antar Annisa dan Khudori seharusnya lebih bisa menguras emosi penonton tampak datar di sana-sini. Meski demikian Oka Antara menunjukkan kemampuan maksimalnya berperan menjiwai sosok Khudori yang lemah lembut dan sabar. Selebihnya tokoh besar lain yang muncul bermain dalam tataran standart kalau melihat pengalamanya.
Durasi Film yang sangat panjang membuat film sangat menguras tenaga bahkan capai di tengah cerita. Banyak adegan yang sangat dipertanyakan kebutuhannya, membuat film ini terasa membosankan di beberapa adegan. Adegan ranjang yang tak perlu, kekerasan yang tersa vulgar. Bebarapa adegan lain yang membuat durasi yang melelahkan sangat membuat film ini benar-benar kurang menggigit.
Bisa jadi sudut pandang lelaki-ku menganggap tema yang diangkat sebenarnya sudah kurang “aktual” saat ini. Gambaran sebuah pesantren yang masih kaku menerima iklim keterbukaan dan modernisasi bisa jadi masih ada di beberapa daerah. Tetapi masalah kekolotan terlihat agak konyol bila tergambar dalam bingkai ungkap hiburan modern saat ini. Orang tahu setting Film (sekitar tahun 90an) masih dalam suasana tertutup dengan keterbukaan. Tetapi apakah perlu adegan pembakaran buku diperlihatkan sevulgar itu. Bisa Jadi kita ketawa melihat buku “Bumi Manusia” dan buku yang dianggap "kekirian" lainya dibakar dan dianggap sesat, sedangkan keluar bioskop sangat dengan mudah membaca bukunya di Toko sebelah. Sebuah aktualisasi tema yang kurang tergarap dengan maksimal. Disamping musik pengiring yang terasa kurang mengangkat, kembali bila dibanding dengan pendahulunya; AAC.
Aku tak tahu dengan apa yang menjadi titik lemah utama film Hanung Kali ini. Tetapi satu catatan adalah; Terlalu banyak yang mau disampaikan dengan adegan. Ini bisa jadi proses kreasi Hanung yang kurang meloncat jauh lagi Pasca AAC.
Entahlah…, tapi tetap saja aku kasih lima point gratis untuk Hanung bila kita bandingkan dengan film lokal horor yang membuat kita merasa semakin mundur aja dalam ber-film. He...2
"Perempuan Berkalung Sorban" yang Melelahkan...
3 Doa 3 Cinta…
Diantara film lokal -yang beredar di akhir tahun 2008 -rata-rata tak menarik untuk diapresiasi, film "3 Doa 3 Cinta" menjadi satu yang cukup membuat kita penasaran untuk menontonnya. Secara kasat mata bila sekilas melihat poster film, mungkin tak ada yang lebih menarik selain dua tokoh yang dipajang; Dian Sastro Wardoyo dan Nicholas Saputra. Bisa jadi keduanya menjadi satu-satunya daya jual film ini secara marketing. Tetapi terlepas dari dua tokoh utama yang kembali berduet dalam satu film, tema liku-liku kehidupan pesantren yang diangkat menjadi satu bahasan menarik. Selain itu film mendapat tempat di dua Festival film luar negeri; Pusan International Film Festival 2008 dan Dubai International Festival 208. Selain prestasi itu film ini mencatat 7 nominasi FFI 2008 lau meski cuma menang satu kategori di Pemeran Terbaik Pria oleh Yoga Pratama. Selebihnya mungkin sebatas film yang numpang lewat di tengah masih gencarnya film genre “Komedi Seks” dan “Horor Rendahan” yang tak juga kunjung habis - dan malah kelewatan- meneror selera penonton kita.
Sepengetahuan aku, tema pesantren di “3 Doa 3 Cinta” memang jarang diangkat ke layar lebar komersial. Secara budaya tulispun dulu di masa kuliah dan masih mengikuti perkembangan sastra islami generasi FLP lewat Novis-nya, seringkali memang penulis mengangkat realitas pesantren salaf tradisional - terutama yang masih banyak terdapat di pedalaman Jawa - ke dalam setting ceritra. Tetapi aku melihat selalu saja ada keterbatasan gerak sastra genre ini di masyarakat muslim secara jamak.
Kembali ke tema film “TDTC”, secara ide memang sangat keluar dari mainstream tontonan saat ini. Realitas Pesantren yang tradisional yang masih serba terbatas, bahkan jadul dan terbelakang menjadi sebuah tontonan yang tak sengaja menjadi lelucon yang sederhana namun menghibur. Berpusat pada tiga santri yang telah menjadi “sohib sejati” di keseharian pesantren. Tiga santri yang selalu menulis doanya (dalam bahasa arab) di tembok tua belakang pesantren seakan menjadi gagasan inti cerita yang dikembangkan sutradara. Huda, Rian dan Syahid adalah tiga santri dengan latar keluarga yang berbeda. Disamping tiga aktifitas yang sama-sama dijalani, ketiganya mempunyai impian masa depan yang berbeda yang diikat dalam satu semangat; “menjadi seorang yang berarti bagi kelauarga".
Huda mencari Ibunya yang sedari kecil meninggalkan di pesantren Kyai Wahab, Rian akan meneruskan usaha Foto dan Video Syuting Pernikahan dan Syahid berjuang dan selalu berdoa untuk sang Bapak yang dibelenggu oleh penyakit gagal ginjal plusmasalah ekonomi yang membelenggunya. Ketiganya berupaya menjalani ikhtiar masing-masing. Sebagai tokoh utama Huda (Nicholas Saputra), bertemu seorang “Artis Dangdut Pasar Malam” bernama Dona Satelit yang dimainkan Dian Sastro Wardoyo. Agak jadi tanda tanya juga tokoh besar Dian Sastro cuma mendapat peran tempelan di film ini. Adegan “menyanyi dan bergoyang” dan adegan latihan casting yang dinorak-norakkan adalah hadiah dan tantangan dari Nurman Hakim untuk Dian berakting di luar image selama ini.
Adegan cerita sangat enak diikuti sampai dengan setengah lebih film. Tetapi alur yang sangat lambat membuat kegusaran akan ending seperti apa yang ditampilkan Nurman Hakim.Tiga tokoh utama dengan impian masing-masing yang sangat kuat sepertinya kurang kuat disambungkan dengan satu benang merah peristiwa. Ketiganya diatangkap oleh pihak kepolisian adalah satu peristiwa kurang kuat daiantara banyaknya masalah yang mengemuka. Ending cerita yang bahagia tentu membuat pertanyaan sedikit terjawab walau tak sepenuhnya.
Kisah Cinta sesaat Huda dan Dona yang tak dilanjutkan tentu jadi tanda tanya kecil, meski diceritakan keduanya berjalan pada treknya masing-masing. Dona tetap menyanyi dan Huda menikahi Farokah (anak kyai Wahab) dan meneruskan pesantrenya. Gambarkan banyaknya hal yang ingin diakomodir sutradara adalah tentang Poligami di dalam kultur Islam. Kyai Wahab yang tak juga mendapat keturunan laki-laki sedangkan rekan kyainya yang menikah keempat kalinya, adalah realitas yang coba diselipkan Nurman Hakim diantara padatnya pesan yang akan disampaikan.
Disamping segala keterbatasan garapan Nurman Hakim ini. Setidaknya film menggambarkan potongan sketsa kehidupan santri pedalaman beserta realitas dan mimpinya. Realitas pesantren yang serba lugu, terbelakang dan terbatas tak menghalangi untuk selalu punya mimpi. Dunia bisa membatasi hidup kita, tetapi bukan mimpi dan pikiran kita.
"Ritual Gunung Kemukus" di Gramedia Matraman
Mitos sepertinya menjadi satu sisi yang mengiringi realitas kehidupan masyarakat kita, entah dipercayai ataupun cukup berhenti pada posisi mitos belaka.
Sabtu kemarin sempet mengikuti Bedah Buku sebuah Novel berlatar Mitos (atau kenyataan sejarah?) dari penerbit medioker berjudul “Ritual Gunung Kemukus’ di Fuction Hall Gramedia Matraman lantai 2 Jakarta pusat. Dengan pembicara : Ahmad Sobary, Happy Salma dan F. Rahardi sebagai penulis, diskusi lumayan menarik diikuti. Tentu saja bercerita tentang mitos yang berkembang seputaran tempat wisata di sekitaran kampung halamanku di Sragen.
Ritual “srono” atau upaya meminta peningkatan kesejahteraan (kekayaan) dalam usaha mereka di Tempat Wisata Gunung kemukus ini sangat menarik diceritakan. Cerita tentang Pangeran (tokoh yang diziarahi) sendiri memang banyak sekali versi yang berkembang di masyarakat.
Cerita tentang Pangeran Samudra yang berkembang di masyarakat sendiri kurang lebih begini:
Pangeran Samudra sebagai anak Girindrawardhana atau Raja Brawijaya VI, dan Nyai Ontrowulan sebagai salah satu selir sang raja saling jatuh cinta. Sedangkan Prabu Brawijaya sendiri telah Moksa seiring dengan bubarnya majapahit. Mereke ke Demak untuk menikah, tetapi karena kecantikan Nyai ontrowulan, banyak petinggi Demak yang Jatuh cinta padanya dan mengejar-ngejar dia dan menggagalkan pernikahan mereka. Mereka Lari ke selatan untuk menyelamatkan diri. Di sebuah daerah hasrat keduanya tidak bisa ditahan lagi, sehingga mereka melakukanya di alam terbuka. Ketika itulah pasukan demak datang dan hubungan mereka terhenti. dan mereka dibunuh. Mereka dikubur dalam lubang yang sama. Tempat mereka erbunuh mengalir air yang jernih dan dinamai Sendang Ontrowulan. Dan Di makam mereka ada kukus (asap) dan adaa suara menggelegar; “wahai Manusia, barangsiapa ma datang ke tempat ini dan bisa menyelesaikan hubungan suami istri kami yang belum selesai, sebanyak tujuh kali, maka segala permintaan kalian, akan dikabulkan oleh Dewa Bathara yang Maha Agung.
Berbeda dengan versi yang berkembang di masyarakat, Pemerintah lewat Pemda Sragen mengubah cerita dengan tujuan memperbaiki citra kawasan wisata; Cerita yang berkisah tentang seorang tokoh penyebar agama Islam di sekitar daerah bukit ini (kelak dinamakan Kemukus). Pangeran Samudra meninggal dalam dakwah kemudian dikubur di atas bukit di bawah pohon nagasari. Ibu tiri pangeran yang bernama Nyai Ontrowulan sangat bersedih atas kematianya sehingga menyusul ke daerah ini hingga meninggal. Nyai Ontrowulan dikubur di sebelah kuburan anak tirinya ini.
Sebagaimana di Novel ini, aku juga tak tahu pasti alasan pemerintah punya versi lain dengan versi berkembang turun-temurun di masyarakat.
Sudut pandang Pemerintah daerah jelas sangat ambigu sebagai upaya membersihkan kesan negatif tempat ini dengan tujuan pragmatis, meningkatkan jumlah pengunjung dan pemasukan PAD.
Sejak kapan cerita ini diyakini oleh masyarakat dan Sejak kapan pastinya tradisi ziarah dan wisata ini berlangsung, aku kurang bisa memastikan. Sejak aku kecil dan masih hidup di sekitar Gunung Kemukus sampai proyek Waduk Kedung Ombo yang memisahkan area ini dengan kampungku sekarang.
Mungkin bagi yang belum mendengar tentang tempat ini pasti tidak percaya masih ada kepercayaan di masyarakat tentang ritual "berbau prostitusi" ini. Memohon diberi kemudahan dalam berusaha di Gunung Kemukus melalui perantara Pangeran Samudro da Nyai Ontrowulan secara nalar ketauhidan (sudut pandang agama) jelas sebuah kesyirikan tingkat tinggi. Mitos tujuh kali melakukan hubungan suami istri dengan pasangan yang sama namun bukan dengan istri atau suami kita sepertinya kok memang sebuah pemikiran “yang tak masuk akal. Tetapi terlepas dari semua itu, inilah kenyataan dan ironi di masyarakat kita.
Wujud perlawanan ketidakadilan?
Satu bagian di Novel “Ritual Gunung Kemukus’ juga menyitir tentang adanya bentuk perlawanan dari ketidakadilan yang dialami masyarakat miskin. Dalam novel yang diwakili oleh tokoh Sarmin seorang Penjual Bakso yang terlilit beban ekonomi. Atas desakan istri juga dia menjalani "srono" ini untuk meminta usahanya laris. Pada akhirnya tokoh ini tersadar dengan sebuah realitas manusiawi usaha yang berhasil harus dengan jalan dan usaha yang benar, bukan dengan tujuh kali ke Gunung Kemukus menjalani "ritual melenceng" dengan istri orang lain. Tokoh ini digambarkan berjuang untuk keluar dari ketidakadilan. Jika seorang penguasa dengan bebasnya melalukan segalanya tanpa rasa bersalah, tak ada yang salah dengan usahanya demi eksistensi hidup anak istrinya.
Sampai pada titik ini aku kurang sepakat dengan alasan perlawanan ketidakadilan. Ketidakadilan bisa jadi tantangan kehidupan untuk kita belajar menuju keadilan. Meskipun begitu kita tak sepenuhnya bisa menghakimi orang yang percaya akan ritual mencari pesugihan ini. Pemaksaan kebenaran kepada sesama adalah wujud ketidakdilan juga kata M. Sobary menanggapi hal ini.
Yang menjadi kunci adalah kepercayaan di dalam diri kita masing-masing. Kita harus menanamkan fundamentalisme ketauhidan dalam diri kita sendiri. Kepercayaan spiritual seseorang datang dari proses yang tak akan bisa dipahami orang lain. Melakukan ritual ini di Gunung kemukus adalah untuk yang percaya dan kita tak bisa memaksa untuk tidak percaya.
Bedah Buku dan launching Buku " Ritual Gunung Kemukus" di Gramedia Matraman sabtu kemarin sepertinya memberikan satu kenyataan yang sebelumnya jauh dari sudut pandang kita.
Dendam Max Payne
Film yang diangkat dari game rupanya masih punya tempat di hati pecinta film. Salah satunya Film yang dibintangi bintang-bintang terkenal semacam Mark Wahlberg (sebagai Max Payne) Chris O’Donnel sebagai bos istri Max dan ada juga debut penyanyi cantik Nelly Furtado sebagai teman Max. Diharapkan film ini mengikuti jejak sukses game yang diangkat ke layar lebar sebelumnya seperti Resident Evil dan Hitman.
Kekuatan cerita film ini lebih terfokus pada kekuatan balas dendam seorang polisi yang kehilangan secara tragis istri dan anak tercinta. Kemampuan menembak dari Max dan kelamnya suasana setting kota menjadi kekuatan tambahan, yang sepertinya tak mau kalah dengan versi game itu sendiri. Dendam mencari pembunuh orang-orang tercinta membawa ke peristiwa dan masalah yang tak terduga.
Ketidaksabaran Max mencari pembunuh istri dan anaknya membawa sedikit demi sedikit permasalahan yang selama ini kabur. Istrinya Michelle yang bekerja untuk perusahaan Aesir ternyata punya peran penting dalam sebuah proyek rahasia yakni Serum kekebalan untuk Pasukan Militer yang akhirnya gagal dan menimbulkan masalah bagi pemakai. Kekuatan pemakai yang berlipat ternyata berefek samping timbulnya halusinasi (semacam kerasukan kekuatan iblis) yang bersifat jahat.
Cerita Tanggung
Sebagai film thriller action, garapan John Moore (sebelumnya menggarap film Behind Enemy Lines) terbilang cukup seru. Gambar kelam yang merujuk pada suasana asal game dikemas cukup rapi dalam efek visual CGI. Adegan tembak-tembakan sepanjang film juga sangat memanjakan penonton. Sayangnya cerita yang sudah jamak diangkat di layar lebar terlihat biasa dan kurang menunjukkan sebuah inovasi baru. Efek slow motion gerakan Max dalam menembak dan ledakan seru di setiap adegan seakan kurang didasari sebuah alasan yang kuat. Bisa jadi muncul pikiran di benak penonton; Penting tidak sih adegan ini? Bila Slow Motion ala film Trilogi Matrix menjadi bagian tak terpisahkan tokoh utama, gerakan Max Payne seakan terlihat sebagai sekedar adegan seru- seruan yang tak mengagetkan lagi –bila tak ingin dikatakan sangat biasa-.
Kerumitan cerita juga sebenarnya bisa dikatakan cukup tanggung. Terlepas harus dalam koridor cerita dasar versi game, kenapa tidak membuat cerita yang melibatkan intrik tingkat tinggi. Aku sendiri sangat kurang mengikuti perkembangan Game sehingga kurang kompeten membicarakan gamenya. Dalam cerita film, kasus yang mengakibatkan Istri Max dibunuh seakan terlalu simpel karena terlihat sebagai kasus mafia tingkat perusahaan saja. Film sekelas ini seharusnya tak takut lagi menyangkutkan masalah dengan konspirasi dengan pemerintah atau militer utama sebagai tambahan daya tarik cerita.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan film ini, setidaknya sedikit memberi warna lain diantara menjamurnya film lokal yang sebagian besar kurang pantas untuk diapresiasi. Akhir-akhir ini film kelas Hollywood memang sedang jarang nongol di sejumlah bioskop karena kepungan film lokal. Bisa menonton film ini setidaknya menjadi pengganti film “Body of Lies” yang ternyata udah turun layar di sebagian besar jaringan bioskop utama. Dendam ala Payne ternyata bisa juga diartikan balas dendam membunuh kejenuhan kita terhadap film lokal yang tak bermutu.
Dari Laskar Pelangi untuk Kita…
Setelah beberapa kali gagal mendapatkan tiket “Laskar Pelangi”, sabtu kemarin kesampaian juga menonton film ini. Sejenak mengikuti santainya para birokrat kita melupakan hantu krisis yang menghantui dunia ini. Bila dunia sedang membuka aib “kebobrokan” Ekonomi Amerika karena keserakahanya. Film ini sederhana saja membantu menemukan satu hal yang hilang dari negeri ini. Kesejanakan yang menghibur dan menginspirasi…
Secara teknik pratis film ini memang di atas rata-rata kualitas film Indonesia. Gambar yang indah yang menggambarkan Belitong yang memang indah. Kasting pemain yang dikhawatirkan banyak pengamat justru dijungkirbalikkan. Akting ke sepuluh anak sangat alami, karena mereka sepeti melakoni keseharian mereka. Logat melayu belitong yang khas menambah film ini terasa enak untuk diikuti.
Plot cerita yang setia dengan novel membuat setiap adegan mencoba menjawab imajinasi kita akan cerita dalam novel.Memang sih pasti ada yang belum sepenuhnya terjawab karena memang visulaisai tak akan menjawab 100 persen imajinasi kita.
Memori semangat masa kecil dan pentingnya kita mempunyai mimpi masa depan menjadi tema yang ditegaskan oleh Riri Riza. Ironi sebuah sekolah dasar Muhammadiyah yang berhasrat eksis untuk sebuah tujuan mulia; mengajarkan nilai pendidikan secara utuh. Dalam sebuah adegan Pak Harfan menegaskan bahwa sekolah ini bukan bertujuan menilai kepandaian anak-nakanya hanya dengan nilai-nilai, tetapi kecerdasan dan kepribadian yang berasal dari hati. Akhlakul karimah, bisa jadi satu kata untuk menjelaskan tujuan itu atau dalam istilah umum “manusia unggul”. Terselip juga pesan kehidupan tentang makna memberi sebanyak-banyaknya bukan menerima sebanyak-banyaknya. Jadi ingat postingan beberapa bulan lalu tentang memberi dan menerima. Kembali ke Ironi pendidikan, ini memang jamak kita temui di seluruh negeri ini, bahkan di pelosok pulau jawa pun saat ini masih saja terjadi.Semangat mengajar “pahlawan tanpa tanda jasa” tak diimbangi hasrat besar penguasa dalam kebijakan.
Kekuatan mimpi dengan tantanganya, mau tidak mau mengingatkan kita semua akan sesuatu yang hilang dalam bangsa ini. Inilah Indonesia yang sesungguhnya kata Presiden SBY setelah menonton film ini. Tokoh Lintang yang justru terlihat lebih dominan dibanding Ikal menunjukkan semangat itu. Sayang adegan akhir dari ironi ini menurutku kurang tergarap lebih dramatis oleh Riri Reza.
Sebagai sedikit kritikanku; mungkin banyak adegan yang tak dieksekusi secara tuntas. Mungkin saking banyaknya adegan penting dan terimajinasi kuat di benak penonton - tentunya bagi yang sudah baca novelnya- dia harus relistis memilahnya.
Setidaknya, tema dan pesan yang akan disampaikan telah tercapai oleh film ini. Secara sederhana film ini sekedar merenung sejenak akan ;
Satu kepastian diantara berbagai ketidakpastian negeri ini
Satu optimisme diantara berbagai ketidakoptimisme negeri ini.
Dan mengingatkan satu yang hilang diantara banyak yang hilang dari negeri ini…
NB:gambar diambil dari sini
The Mummy 3 ; untuk Seru-Seruan Saja
Sekuel ketiga petualangan keluarga O'Connel kali ini tak semenggigit dua judul sebelumnya ; The Mummy (1999) dan The Mummy Return (2001), atau spin off-nya The Scorpion King (2002). Jika kita bertanya tentang bagamana dasyatnya adegan dengan visual effect-nya tentu ekspektasi kita akan terpenuhi. Tetapi diluar kedasyatan, sepertinya ada beberapa bagian yang kurang memuaskan dan kadang terlihat agak dipaksakan.
Bercerita awal tentang terperangkapnya Kaisar Han (diperankan Jet Li)
-yang berambisi hidup abadi- oleh mantra Zijuan (Michelle Yeoh). Kebadian yang jutru berwujud dalam terracotta akhirnya berubah menjadi awal malapetaka ketika Alex atau O’Connel junior-yang sudah menginjak 20 tahunan umurnya- menemukan situs ini. Di samping itu seorang jendral pemerintahan berambisi membangkitkan sang kaisar untuk kepentingan kekuasaanya.
Kembali turun tangannya Rick O’Connel (Brendan Fraser) dan istrinya Evelyn (Maria Bello) -yang sudah pensiun- mencegah terjadinya malapetaka yang lebih besar menjadi rangkaian cerita yang seru.
Secara cerita memang tak ada yang baru. Sudah tak perkasanya O’Connel senior dan istrinya mejadi satu alasna film ini jadi agak kurang greget. Kehadiran Jet Li, Michelle Yeoh dan sang pemanis Isabelle Leong yang lebih punya "cita rasa loka” satu sisi memang menjadi film terasa hidup. Tetapi modal serunya film-film sebelumnya jutru membuat ekspektasi penonton menjadi lebih, dan bukan sekedar seru.
Joke-joke Brendan Fraser dengan Evelyn terlihat kaku dan kurang cair. Ini mungkin yang membuat kita menyadari alasan kuat Rachel Weisz menolak peran Evelyn di sekuel ini. Bebarapa adegan yang sebenarnya agak perlu dipertanyakan, seperti renggangnya hubungan Rick dan Alex yang kurang dijelaskan. Faktor Jet Li dan si Yeoh yang akan kita tunggu permainan jurus yang khas kurang diekplorasi untuk aktor dan aktris sekelas mereka. Faktor Isabelle Leong sebagai Li sendiri hanya hadir tak lebih sebagai pemikat pria (Siapa lagi jika bukan si Alex).
Keseruan setiap adegan pertarungan dan Visual efek yang sempurna mungkin menjdi alasan terakhir kita mengikuti cerita sampai tuntas. Tapi bagaimanapun, Film petualangan semacam ini sepertinya tetap masih punya tempat di hati kita untuk pergi ke Bioskop. Haha...
X-Files yang "Biasa Banget"
Greget film ini terasa datar dan sangat terlihat kurang .“The X-Files: I Want to Believe" yang diangkat dari kisah serial televisi sukses seperti kurang darah tanpa adanya kasus besar yang membuat penasaran setiap benak penonton.
Kesuksesan serial di TV dan versi layar lebar jilid pertama sebenarnya menjadi modal kuat untuk melanjutkan sukses versi layar lebar sebelumnya.Tidak ada UFO ataupun Makhluk asing di sepanjang film ini jadi tanda tanya, apa kekuatan terbesar film ini selain dua tokoh sentralnya, Fox Mulder (David Duchovny) dan Dana Scully (Gillian Anderson) yang tak terduga sebelumnya.
Cerita bermula dari hilangnya seorang agen FBI dan diikuti hilangnya korban lain. Di sisi lain Murder dan Schully udah resmi pensiun dari FBI dan hidup bersama di pinggiran kota.
Berawal dari Murder yang diminta bantuannya oleh FBI untuk mengungkap kasus yang berantai ini (yang pada akhirnya Schully ikut masuk di dalamnya).
Penyatuan dua orang,keras kepalanya Murder (yang tak kenal menyerah) dan Idealisnya Schully (diceritakan kembali sebagai dokter yang dedikatif) sepertinya memang inti terbesar dari cerita film ini. Jadi kasus pembunuhan dan proyek tranplantasi ilegal sebagai kasus yang harus dipecahkan seperti jadi alasan penyatuan mereka berdua. So, X-Files kali ini sangat terlihat bergaya drama daripada fiksi ilmiah. Pesan ilmiah memang terlihat dari anehnya tipologi pembunuhan yang terjadi. Tetapi dalam bayanganku itu sangat jamak da sesuatu yang tak aneh lagi di jaman sekarang.
Pertanyaanya, bukankah kekuatan film ini terletak pada misteri dan kerumitan yang melibatkan fenomena aneh;UFO dan makhluk asing misalnya, ataupun konpirasi penguasa yang menutupi sebuah kasus atao x-files menarik lainya. Kesimpulan awamku cuma simple, Kok biasa ya?..
Sekuel yang Penuh Kejutan
Penuh Kejutan dan eskpektasi tinggi yang mungkin sangat terpuaskan. Itu mungkin kesan pertama keluar dari bioskop setelah menonton sekuel Batman ini. Bertajuk "The Dark Knight". Sejak ditangani oleh Chris Nolan, Batman versi baru memang muncul dengan warna baru dibanding rilisan era 90-an. Penggambaran tokoh utama yang dimanusiawikan, jauh dari kesan komikal seperti yang terlihat sebelumnya. Tak pelak warna baru dari tokoh ini sangan ditunggu penggemar film hero sejenis. Bisa dilihat Film sejenis menurutku semakin mempunyai kesamaan ungkap pasca "Batman Begins", setidaknya film-film hero yang aku tonton setelahnya.
Dibanding "Batman Returns", The Dark Knight berdurasi lumayan lama (sekitar 2,5 jam). Selain lama kesan, "psiko-thriller" sangat terasa dalam bebarapa adegan. Ketegangan tampak saat dua buah kapal yang membawa sekelompok berandal dan orang baik dibuat dalam ketegangan dan suasana super dilematis memilih kapal mana yang akan diledakkan.
Selain itu keseruan adegan memang terasa biasa melihat rumitnya dan panjangnya cerita, tetapi tetap terasa seru dan penuh kejutan. Terus terang aku baru tahu fakta remeh temeh kendaraan BatPod berasal dari satu sisi Batmobile dia yang telah rusak. Ditambah aksi gesit Batpod ini membuat tronton dengan mudahnya terbalik oleh jegalan cerdik menambah renyahnya adegan demi adegan. Tak lupa juga, akting sempurnasi Joker (Heath Ledger) yang membuat tokoh ini sangat sentral-jika tak boleh dikatakan lebih baik dari Christian Bale sendiri- pantas dijadikan dedikasi terakhir yang indah bagi Ledger. Disamping akting bintang kawakan semacam Morgan Freaman sebagai pengikut setia Batman yang tampil meyakinkan.
Tak pelak kritikan positif layak diberikan untuk sekuel ini. Sebuah harian terkemuka dalam review-nya menyatakan dengan kelengkapannya "The Dark Knight" adalah film action terbaik saat ini. Sudut pandang bisa dilihat dari mana saja. Tetapi film ini cukup memuaskan hausnya ekspektasi penggemar yang lumayan penasaran menunggu selama tiga tahun.
Rahasia Meede
Membaca Novel ini, kita pasti akan teringat dengan "Da Vinci Code"nya Dan Brown. Menggebu-gebu, penuh dengan ambisi pembuktian pengetahuan sejarah sang pengarang. Sebuah contoh keseriusan sebuah karya sastra anak bangsa.
Cerita bermula dari ditemukannya sebuah terowongan rahasia di bawah perut bumi Jakarta oleh tiga orang peneliti berkebangsaan Belanda. Jika dalam prolog cerita disinggung setting dan kejadian dimana KMB di Denhaag yang berisi tentang pengaukan kedaulatan pemerintad Belanda atas NKRI aku anggap itu sebagai point entry pembaca tentang inti cerita.
Selanjutnya silih berganti kita akan dipakasa secara acak mengikuti cerita dengan berbagai kejadian dan penokohan. Mungkin sempat bingung juga menebak kemana alur cerita akan dibawa.
Pembunuhan beberapa tokoh penting di kota berawalan huruf B dan adanya sebuah pesan "Tujuh Dosa Sosial "-nya Gandhi adalah sebuah kredit point kecerdasan penulis untuk mengangkat citarasa cerita menjadi setengah novel sejarah. Walaupun seratus persen Fiksi, tetapi fakta-fakta sejarah yang ada -mungkin terlupakan oleh kita- sangat lancar diceritakan penulis muda ini.
Jika ada kelemahan hanyalah penceritaan yang tak stabil di awal sampai akhir cerita. Penceritaan yang sangat memforsir tenaga di awal dan tengah cerita terlihat menurun di akhir cerita. Tokoh cerita yang sangat banyak dan rumit, justru agak membuat bosan begitu memasuki akhir cerita. Jawaban atas segala teka-teki cerita terasa kurang "boom" dalam porsi pengadegan-nya.
Terlepas dari segala kekurangan. Novel ini sekan meloncat jauh dari segi genre dan selera novel asli Indonesia pada umumnya. Keluar pakem, berani dan sangat mengusik kemampuan daya ingat kita tentang sejarah bangsa Indonesia patut mendapat apresiasi bersama. Selamat berkarya kembali bang ES Ito. Kutunggu karay fantastis selanjutnya.
Qur'anic Law of Attraction (Review)
Buku ini seakan ingin melengkapi pertanyaanku yang belum selesai di buku sebelumnya.Best Seller "Secret" tulisan Ronda Byrne dan "Law of Attraction"(LOA)-nya Michael J.Losier. Buku karya Rusdi Rauf ini menawarkan solusi tentang bagaimana LOA dalam diri kita berjalan dengan baik yang berlandaskankan pada Al-Quran.
Law of attraction (hukum ketertarikan) adalah hukum terbesar i alam semsta. Hukum Tarik menarik menyuguhkan harapan sekaligus peringatan. Hukum ini intiny berpendapat:
"Apa yang Anda pikirkan sekarang adalah apa yang akan terjadi pada diri Anda nanti. Masa depan tergantung pada pikiran masa kini. Agar masa depan baik, pikiran berikut keinginan pun harus baik."
Yang menjadi persoalan adalah landasan berpikir di dlam hukum ini.Untuk menentukan baik dan buruk, sudut pandang apa yang akan kita jadikan sandaran?Sepertinya Hal ini yang kurang dibahas dalam dua buku sebelumnya. Dalam "Secret" dan "LOA" tidak secara tegas merujuk pada sebuah dasar. Hal ini memang wajar karena memang keduanya membingkai dalam hal ranah psikologi. Ada sesuatu yang kurang memang selesai membacanya. Dalam bahasa sederhana ibarat sebuah kalimat masih terdapat koma atau belum selesai. Memang kita seperti terjaga membaca ungkapan-ungkapan dari "Secret" dan "LOA".
salah satu contoh:
"Pikirkanlah sesuatu yang engkau inginkan, jangan berpikir tentang apa yang tidak engkau inginkan".
"Fokus kita terhadap tentang hal tidak kita inginkan akan spontan merespon balik dan membuat kita terfokus dan akhirnya menguras energi pikiran kita."
Tema ini sebenarnya tak jauh beda dari tema "Berpikir Positif" yang lebih dulu dibicarakan di dunia psikologi. Pikiran positif akan menuntun kita menjalani dan mendapatkan sesuatu yang kita inginkan dalam hidup.
Kembali ke buku Rusdin S Rauf tadi. Hukum Tarik Menarik (LOA) sebenarnya sudah tertulis secara lengkap dan berulang-ulang di dalam Al-Qur'an. Dengan Al-Quran, Law of Attraction akan terealisasi sesuai petunjuk Allah. Pikiran dan keinginan pun akan mewujud sesuai panduan-Nya ungkap Rusdin.
Aku sendiri mendapatkan beberapa catatan penting dalam tulisan Rusdin S Rauf. Segala sesuatu yang kita pikirkan secara sadar maupun bawah sadar kita harus dilandasi sebuah rasa spiritual yang kuat. Apa yang mendasari keinginan kita dan apa yang menghalagi keyakinan kita, sepertinya tak jauh-jauh dari unsur "visi keimanan" kita. Aku sendiri kadang merasa gelisah dengan kebimbangan-kebimbangan dalam hidup ini. Kebimbangan adalah wujud keraguan yang tak berujung dan tidak sesegera mungkin kita coba urai menjadi sebuah keyakinan. Hal ini seakan berbanding lurus dengan tingkat keimanan kita dalam suatu waktu. Sewaktu kita jauh dari Allah atau dalam keadaan futur, pasti keyakinan dan positif thinking kita berkurang. Semua ini memang ujungnya adalah sikap religius kita dalam menyikapi hidup. Keyakinan kita seperti harus punya sandaran yang tak meragukan lagi. Rasa syukur dan Kesabaran adalah salah satu contoh sikap yang selalu diajarkan Al-Qur'an. Seberapa besar rasa syukur saat kita diberi kelebihan, dan seberapa besar kesabaran kita saat menerima cobaan. Mungkin itu salah satu inti dari Quranic Law of Attraction.
Semoga kita selalu mendapat hikmah dari sebuah perenungan.
Matur Nuwun.