Diantara film lokal -yang beredar di akhir tahun 2008 -rata-rata tak menarik untuk diapresiasi, film "3 Doa 3 Cinta" menjadi satu yang cukup membuat kita penasaran untuk menontonnya. Secara kasat mata bila sekilas melihat poster film, mungkin tak ada yang lebih menarik selain dua tokoh yang dipajang; Dian Sastro Wardoyo dan Nicholas Saputra. Bisa jadi keduanya menjadi satu-satunya daya jual film ini secara marketing. Tetapi terlepas dari dua tokoh utama yang kembali berduet dalam satu film, tema liku-liku kehidupan pesantren yang diangkat menjadi satu bahasan menarik. Selain itu film mendapat tempat di dua Festival film luar negeri; Pusan International Film Festival 2008 dan Dubai International Festival 208. Selain prestasi itu film ini mencatat 7 nominasi FFI 2008 lau meski cuma menang satu kategori di Pemeran Terbaik Pria oleh Yoga Pratama. Selebihnya mungkin sebatas film yang numpang lewat di tengah masih gencarnya film genre “Komedi Seks” dan “Horor Rendahan” yang tak juga kunjung habis - dan malah kelewatan- meneror selera penonton kita.
Sepengetahuan aku, tema pesantren di “3 Doa 3 Cinta” memang jarang diangkat ke layar lebar komersial. Secara budaya tulispun dulu di masa kuliah dan masih mengikuti perkembangan sastra islami generasi FLP lewat Novis-nya, seringkali memang penulis mengangkat realitas pesantren salaf tradisional - terutama yang masih banyak terdapat di pedalaman Jawa - ke dalam setting ceritra. Tetapi aku melihat selalu saja ada keterbatasan gerak sastra genre ini di masyarakat muslim secara jamak.
Kembali ke tema film “TDTC”, secara ide memang sangat keluar dari mainstream tontonan saat ini. Realitas Pesantren yang tradisional yang masih serba terbatas, bahkan jadul dan terbelakang menjadi sebuah tontonan yang tak sengaja menjadi lelucon yang sederhana namun menghibur. Berpusat pada tiga santri yang telah menjadi “sohib sejati” di keseharian pesantren. Tiga santri yang selalu menulis doanya (dalam bahasa arab) di tembok tua belakang pesantren seakan menjadi gagasan inti cerita yang dikembangkan sutradara. Huda, Rian dan Syahid adalah tiga santri dengan latar keluarga yang berbeda. Disamping tiga aktifitas yang sama-sama dijalani, ketiganya mempunyai impian masa depan yang berbeda yang diikat dalam satu semangat; “menjadi seorang yang berarti bagi kelauarga".
Huda mencari Ibunya yang sedari kecil meninggalkan di pesantren Kyai Wahab, Rian akan meneruskan usaha Foto dan Video Syuting Pernikahan dan Syahid berjuang dan selalu berdoa untuk sang Bapak yang dibelenggu oleh penyakit gagal ginjal plusmasalah ekonomi yang membelenggunya. Ketiganya berupaya menjalani ikhtiar masing-masing. Sebagai tokoh utama Huda (Nicholas Saputra), bertemu seorang “Artis Dangdut Pasar Malam” bernama Dona Satelit yang dimainkan Dian Sastro Wardoyo. Agak jadi tanda tanya juga tokoh besar Dian Sastro cuma mendapat peran tempelan di film ini. Adegan “menyanyi dan bergoyang” dan adegan latihan casting yang dinorak-norakkan adalah hadiah dan tantangan dari Nurman Hakim untuk Dian berakting di luar image selama ini.
Adegan cerita sangat enak diikuti sampai dengan setengah lebih film. Tetapi alur yang sangat lambat membuat kegusaran akan ending seperti apa yang ditampilkan Nurman Hakim.Tiga tokoh utama dengan impian masing-masing yang sangat kuat sepertinya kurang kuat disambungkan dengan satu benang merah peristiwa. Ketiganya diatangkap oleh pihak kepolisian adalah satu peristiwa kurang kuat daiantara banyaknya masalah yang mengemuka. Ending cerita yang bahagia tentu membuat pertanyaan sedikit terjawab walau tak sepenuhnya.
Kisah Cinta sesaat Huda dan Dona yang tak dilanjutkan tentu jadi tanda tanya kecil, meski diceritakan keduanya berjalan pada treknya masing-masing. Dona tetap menyanyi dan Huda menikahi Farokah (anak kyai Wahab) dan meneruskan pesantrenya. Gambarkan banyaknya hal yang ingin diakomodir sutradara adalah tentang Poligami di dalam kultur Islam. Kyai Wahab yang tak juga mendapat keturunan laki-laki sedangkan rekan kyainya yang menikah keempat kalinya, adalah realitas yang coba diselipkan Nurman Hakim diantara padatnya pesan yang akan disampaikan.
Disamping segala keterbatasan garapan Nurman Hakim ini. Setidaknya film menggambarkan potongan sketsa kehidupan santri pedalaman beserta realitas dan mimpinya. Realitas pesantren yang serba lugu, terbelakang dan terbatas tak menghalangi untuk selalu punya mimpi. Dunia bisa membatasi hidup kita, tetapi bukan mimpi dan pikiran kita.
3 Doa 3 Cinta…
Dendam Max Payne
Film yang diangkat dari game rupanya masih punya tempat di hati pecinta film. Salah satunya Film yang dibintangi bintang-bintang terkenal semacam Mark Wahlberg (sebagai Max Payne) Chris O’Donnel sebagai bos istri Max dan ada juga debut penyanyi cantik Nelly Furtado sebagai teman Max. Diharapkan film ini mengikuti jejak sukses game yang diangkat ke layar lebar sebelumnya seperti Resident Evil dan Hitman.
Kekuatan cerita film ini lebih terfokus pada kekuatan balas dendam seorang polisi yang kehilangan secara tragis istri dan anak tercinta. Kemampuan menembak dari Max dan kelamnya suasana setting kota menjadi kekuatan tambahan, yang sepertinya tak mau kalah dengan versi game itu sendiri. Dendam mencari pembunuh orang-orang tercinta membawa ke peristiwa dan masalah yang tak terduga.
Ketidaksabaran Max mencari pembunuh istri dan anaknya membawa sedikit demi sedikit permasalahan yang selama ini kabur. Istrinya Michelle yang bekerja untuk perusahaan Aesir ternyata punya peran penting dalam sebuah proyek rahasia yakni Serum kekebalan untuk Pasukan Militer yang akhirnya gagal dan menimbulkan masalah bagi pemakai. Kekuatan pemakai yang berlipat ternyata berefek samping timbulnya halusinasi (semacam kerasukan kekuatan iblis) yang bersifat jahat.
Cerita Tanggung
Sebagai film thriller action, garapan John Moore (sebelumnya menggarap film Behind Enemy Lines) terbilang cukup seru. Gambar kelam yang merujuk pada suasana asal game dikemas cukup rapi dalam efek visual CGI. Adegan tembak-tembakan sepanjang film juga sangat memanjakan penonton. Sayangnya cerita yang sudah jamak diangkat di layar lebar terlihat biasa dan kurang menunjukkan sebuah inovasi baru. Efek slow motion gerakan Max dalam menembak dan ledakan seru di setiap adegan seakan kurang didasari sebuah alasan yang kuat. Bisa jadi muncul pikiran di benak penonton; Penting tidak sih adegan ini? Bila Slow Motion ala film Trilogi Matrix menjadi bagian tak terpisahkan tokoh utama, gerakan Max Payne seakan terlihat sebagai sekedar adegan seru- seruan yang tak mengagetkan lagi –bila tak ingin dikatakan sangat biasa-.
Kerumitan cerita juga sebenarnya bisa dikatakan cukup tanggung. Terlepas harus dalam koridor cerita dasar versi game, kenapa tidak membuat cerita yang melibatkan intrik tingkat tinggi. Aku sendiri sangat kurang mengikuti perkembangan Game sehingga kurang kompeten membicarakan gamenya. Dalam cerita film, kasus yang mengakibatkan Istri Max dibunuh seakan terlalu simpel karena terlihat sebagai kasus mafia tingkat perusahaan saja. Film sekelas ini seharusnya tak takut lagi menyangkutkan masalah dengan konspirasi dengan pemerintah atau militer utama sebagai tambahan daya tarik cerita.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan film ini, setidaknya sedikit memberi warna lain diantara menjamurnya film lokal yang sebagian besar kurang pantas untuk diapresiasi. Akhir-akhir ini film kelas Hollywood memang sedang jarang nongol di sejumlah bioskop karena kepungan film lokal. Bisa menonton film ini setidaknya menjadi pengganti film “Body of Lies” yang ternyata udah turun layar di sebagian besar jaringan bioskop utama. Dendam ala Payne ternyata bisa juga diartikan balas dendam membunuh kejenuhan kita terhadap film lokal yang tak bermutu.
Dari Laskar Pelangi untuk Kita…
Setelah beberapa kali gagal mendapatkan tiket “Laskar Pelangi”, sabtu kemarin kesampaian juga menonton film ini. Sejenak mengikuti santainya para birokrat kita melupakan hantu krisis yang menghantui dunia ini. Bila dunia sedang membuka aib “kebobrokan” Ekonomi Amerika karena keserakahanya. Film ini sederhana saja membantu menemukan satu hal yang hilang dari negeri ini. Kesejanakan yang menghibur dan menginspirasi…
Secara teknik pratis film ini memang di atas rata-rata kualitas film Indonesia. Gambar yang indah yang menggambarkan Belitong yang memang indah. Kasting pemain yang dikhawatirkan banyak pengamat justru dijungkirbalikkan. Akting ke sepuluh anak sangat alami, karena mereka sepeti melakoni keseharian mereka. Logat melayu belitong yang khas menambah film ini terasa enak untuk diikuti.
Plot cerita yang setia dengan novel membuat setiap adegan mencoba menjawab imajinasi kita akan cerita dalam novel.Memang sih pasti ada yang belum sepenuhnya terjawab karena memang visulaisai tak akan menjawab 100 persen imajinasi kita.
Memori semangat masa kecil dan pentingnya kita mempunyai mimpi masa depan menjadi tema yang ditegaskan oleh Riri Riza. Ironi sebuah sekolah dasar Muhammadiyah yang berhasrat eksis untuk sebuah tujuan mulia; mengajarkan nilai pendidikan secara utuh. Dalam sebuah adegan Pak Harfan menegaskan bahwa sekolah ini bukan bertujuan menilai kepandaian anak-nakanya hanya dengan nilai-nilai, tetapi kecerdasan dan kepribadian yang berasal dari hati. Akhlakul karimah, bisa jadi satu kata untuk menjelaskan tujuan itu atau dalam istilah umum “manusia unggul”. Terselip juga pesan kehidupan tentang makna memberi sebanyak-banyaknya bukan menerima sebanyak-banyaknya. Jadi ingat postingan beberapa bulan lalu tentang memberi dan menerima. Kembali ke Ironi pendidikan, ini memang jamak kita temui di seluruh negeri ini, bahkan di pelosok pulau jawa pun saat ini masih saja terjadi.Semangat mengajar “pahlawan tanpa tanda jasa” tak diimbangi hasrat besar penguasa dalam kebijakan.
Kekuatan mimpi dengan tantanganya, mau tidak mau mengingatkan kita semua akan sesuatu yang hilang dalam bangsa ini. Inilah Indonesia yang sesungguhnya kata Presiden SBY setelah menonton film ini. Tokoh Lintang yang justru terlihat lebih dominan dibanding Ikal menunjukkan semangat itu. Sayang adegan akhir dari ironi ini menurutku kurang tergarap lebih dramatis oleh Riri Reza.
Sebagai sedikit kritikanku; mungkin banyak adegan yang tak dieksekusi secara tuntas. Mungkin saking banyaknya adegan penting dan terimajinasi kuat di benak penonton - tentunya bagi yang sudah baca novelnya- dia harus relistis memilahnya.
Setidaknya, tema dan pesan yang akan disampaikan telah tercapai oleh film ini. Secara sederhana film ini sekedar merenung sejenak akan ;
Satu kepastian diantara berbagai ketidakpastian negeri ini
Satu optimisme diantara berbagai ketidakoptimisme negeri ini.
Dan mengingatkan satu yang hilang diantara banyak yang hilang dari negeri ini…
NB:gambar diambil dari sini
Laskar Pelangi, Akankah Menembus Batas..?
Film "Laskar Pelangi", sebuah adaptasi Novel karya Andrea Hirata akhirnya Release juga 25 September 2008 besok. Diputar serentak di 75 layar bioskop di Indonesia menjadikan film ini salah satu pilihan menghabiskan liburan panjang Idul Fitri 1429 H. Sebelum diangkat ke layar lebar, versi novel "Laskar Pelangi" telah menjadi perbincangan hangat dan lumayan panjang jagat satra Indonesia. Dari seorang yang sama sekali belum di dunia sastra sebelumnya, Andrea Hirata menyita perhatian dengan langsung menulis tetralogi "Laskar pelangi". Sebagai tambahan, Buku terakhir dari tetralogi ini belum diterbitkan, tetapi tiga bagian awal sangat memberi warna baru sastra Indonesia.
Penceritaan khas Andrea yang khas mengenai kisah masa kecilnya patut diacungi jempol. Disamping itu, tema cerita yang segar memberi banyak membuat trance pembaca akan memori masa kecil. Memori masa kecil, sebuah tema ringan tetapi mampu membuat kesadaran kita akan mimpi seorang anak manuasia. Di dalam benak kita masing-masing pasti akan sejurus dan sepakat dengan keindahan memori masa lalu kita. Pada titik ini Andrea Hirata menurutku menjdi simbol pemicu semangat kita untuk selalu tak patah semangat mewujudkan mimpi.
Berkisah tentang masa kecil Andrea Hirata bersama sembilan teman SD Muhammadiyah-nya di Belitong untuk tetap bersemangat sekolah di tengah kondisi memprihatinkan dari sekolah mereka. Dalam asuhan Ibu Muslimah yang gigih, keterbatasan keadaan dari 10 anggota Laskar Pelangi yang tak jadi penghalang semangat untuk menggapai mimpi-mimpi besar mereka. Kondisi yang meyatukan mereka dalam mimpi besar 10 anak manusia. Membacanya paling tidak akan muncul kesadaran kita arti sebuah mimpi dan kecintaan kita kepada bangsa ini. Segala kondisi yang tergambar akan menumbuhkan empati kita akan semangat mereka. Inilah Indonesia...apa adanya.
Bagaimana dengan filmnya?
Sebagaimana sebuah adaptasi. Laskar Pelangi versi film tentu akan mendapat beban berat. Gambaran indah tentang Pulau Belitong, karakter kuat anggota laskar pelangi ; Ikal, Lintang, Mahar, Syahdan, Borek, Kucai, A Kiong, Sahara, Trapani, Harun, Flo, dan A Ling terlalu kuat membekas di benak penonton -yang sudah mebaca novelnya-. Keberanian Duet Mira Lesmana-Riri Reza mengambil tokoh lokal yang awam di dunia akting memang sedikit memunculkan pertanyaan. Tetapi hal ini bisa dipahami dengan alasan lokalitas, suasana chemistry antar pemain dan naturalitas yang harus muncul dalam film ini. Satu alasan lagi mungkin aksen melayu belitong yang tak akan mudah cepat diucapkan oleh anak teater dari Jakarta sekalipun. Pengimbangan tokoh dewasa yang diisi tokoh papan atas semacam; Cut Mini,Lukman Sardi, Tora Sudiro, Slamet Raharjo, Alex Komang, Mathias Muchus, Rieke Diah Pitaloka, Robbie Tumewu, JaJang C. Noer dan tokoh besar lainya membuat harapan besar kita masih tetap terjaga.
Saya sendiri akan menempatkan film ini sebagai bagian terpisah dari keberhasilan novelnya. Kesuksesan novelnya biarlah menjadi ceritera tersendiri dan bisa saja akan berlanjut jika filmnya mendapat respon pasar. Kasus serupa di Indonesia semisal film Ayat-ayat Cinta bisa menjadi gambaran bagaimana keduanya bisa menembus batas dari dunia masing-masing. Batas usia, batas selera pasar maupun batas dikotomi sebuah pasar hiburan modern. Laskar pelangi sendiri hampir bersegmen semua umur. Muatan pesan yang dibawa film ini yang cocok bagi kondisi bangsa ini yang butuh pemompa semangat. Saat ini kita butuh tontonan yang bermutu yang mampu menembus batas sebagai sebuah tontonan. Pertanyaannya, mampukah "Laskar Pelangi" mampu menembus batas...? Kita tonton saja sebagai hadiah liburan panjang kita...
Salam hangat...
Catatan:
Gambar diambil dan diolah seperlunya dari situs resmi film :http://www.laskarpelangithemovie.com/
The Mummy 3 ; untuk Seru-Seruan Saja
Sekuel ketiga petualangan keluarga O'Connel kali ini tak semenggigit dua judul sebelumnya ; The Mummy (1999) dan The Mummy Return (2001), atau spin off-nya The Scorpion King (2002). Jika kita bertanya tentang bagamana dasyatnya adegan dengan visual effect-nya tentu ekspektasi kita akan terpenuhi. Tetapi diluar kedasyatan, sepertinya ada beberapa bagian yang kurang memuaskan dan kadang terlihat agak dipaksakan.
Bercerita awal tentang terperangkapnya Kaisar Han (diperankan Jet Li)
-yang berambisi hidup abadi- oleh mantra Zijuan (Michelle Yeoh). Kebadian yang jutru berwujud dalam terracotta akhirnya berubah menjadi awal malapetaka ketika Alex atau O’Connel junior-yang sudah menginjak 20 tahunan umurnya- menemukan situs ini. Di samping itu seorang jendral pemerintahan berambisi membangkitkan sang kaisar untuk kepentingan kekuasaanya.
Kembali turun tangannya Rick O’Connel (Brendan Fraser) dan istrinya Evelyn (Maria Bello) -yang sudah pensiun- mencegah terjadinya malapetaka yang lebih besar menjadi rangkaian cerita yang seru.
Secara cerita memang tak ada yang baru. Sudah tak perkasanya O’Connel senior dan istrinya mejadi satu alasna film ini jadi agak kurang greget. Kehadiran Jet Li, Michelle Yeoh dan sang pemanis Isabelle Leong yang lebih punya "cita rasa loka” satu sisi memang menjadi film terasa hidup. Tetapi modal serunya film-film sebelumnya jutru membuat ekspektasi penonton menjadi lebih, dan bukan sekedar seru.
Joke-joke Brendan Fraser dengan Evelyn terlihat kaku dan kurang cair. Ini mungkin yang membuat kita menyadari alasan kuat Rachel Weisz menolak peran Evelyn di sekuel ini. Bebarapa adegan yang sebenarnya agak perlu dipertanyakan, seperti renggangnya hubungan Rick dan Alex yang kurang dijelaskan. Faktor Jet Li dan si Yeoh yang akan kita tunggu permainan jurus yang khas kurang diekplorasi untuk aktor dan aktris sekelas mereka. Faktor Isabelle Leong sebagai Li sendiri hanya hadir tak lebih sebagai pemikat pria (Siapa lagi jika bukan si Alex).
Keseruan setiap adegan pertarungan dan Visual efek yang sempurna mungkin menjdi alasan terakhir kita mengikuti cerita sampai tuntas. Tapi bagaimanapun, Film petualangan semacam ini sepertinya tetap masih punya tempat di hati kita untuk pergi ke Bioskop. Haha...
X-Files yang "Biasa Banget"
Greget film ini terasa datar dan sangat terlihat kurang .“The X-Files: I Want to Believe" yang diangkat dari kisah serial televisi sukses seperti kurang darah tanpa adanya kasus besar yang membuat penasaran setiap benak penonton.
Kesuksesan serial di TV dan versi layar lebar jilid pertama sebenarnya menjadi modal kuat untuk melanjutkan sukses versi layar lebar sebelumnya.Tidak ada UFO ataupun Makhluk asing di sepanjang film ini jadi tanda tanya, apa kekuatan terbesar film ini selain dua tokoh sentralnya, Fox Mulder (David Duchovny) dan Dana Scully (Gillian Anderson) yang tak terduga sebelumnya.
Cerita bermula dari hilangnya seorang agen FBI dan diikuti hilangnya korban lain. Di sisi lain Murder dan Schully udah resmi pensiun dari FBI dan hidup bersama di pinggiran kota.
Berawal dari Murder yang diminta bantuannya oleh FBI untuk mengungkap kasus yang berantai ini (yang pada akhirnya Schully ikut masuk di dalamnya).
Penyatuan dua orang,keras kepalanya Murder (yang tak kenal menyerah) dan Idealisnya Schully (diceritakan kembali sebagai dokter yang dedikatif) sepertinya memang inti terbesar dari cerita film ini. Jadi kasus pembunuhan dan proyek tranplantasi ilegal sebagai kasus yang harus dipecahkan seperti jadi alasan penyatuan mereka berdua. So, X-Files kali ini sangat terlihat bergaya drama daripada fiksi ilmiah. Pesan ilmiah memang terlihat dari anehnya tipologi pembunuhan yang terjadi. Tetapi dalam bayanganku itu sangat jamak da sesuatu yang tak aneh lagi di jaman sekarang.
Pertanyaanya, bukankah kekuatan film ini terletak pada misteri dan kerumitan yang melibatkan fenomena aneh;UFO dan makhluk asing misalnya, ataupun konpirasi penguasa yang menutupi sebuah kasus atao x-files menarik lainya. Kesimpulan awamku cuma simple, Kok biasa ya?..
Sekuel yang Penuh Kejutan
Penuh Kejutan dan eskpektasi tinggi yang mungkin sangat terpuaskan. Itu mungkin kesan pertama keluar dari bioskop setelah menonton sekuel Batman ini. Bertajuk "The Dark Knight". Sejak ditangani oleh Chris Nolan, Batman versi baru memang muncul dengan warna baru dibanding rilisan era 90-an. Penggambaran tokoh utama yang dimanusiawikan, jauh dari kesan komikal seperti yang terlihat sebelumnya. Tak pelak warna baru dari tokoh ini sangan ditunggu penggemar film hero sejenis. Bisa dilihat Film sejenis menurutku semakin mempunyai kesamaan ungkap pasca "Batman Begins", setidaknya film-film hero yang aku tonton setelahnya.
Dibanding "Batman Returns", The Dark Knight berdurasi lumayan lama (sekitar 2,5 jam). Selain lama kesan, "psiko-thriller" sangat terasa dalam bebarapa adegan. Ketegangan tampak saat dua buah kapal yang membawa sekelompok berandal dan orang baik dibuat dalam ketegangan dan suasana super dilematis memilih kapal mana yang akan diledakkan.
Selain itu keseruan adegan memang terasa biasa melihat rumitnya dan panjangnya cerita, tetapi tetap terasa seru dan penuh kejutan. Terus terang aku baru tahu fakta remeh temeh kendaraan BatPod berasal dari satu sisi Batmobile dia yang telah rusak. Ditambah aksi gesit Batpod ini membuat tronton dengan mudahnya terbalik oleh jegalan cerdik menambah renyahnya adegan demi adegan. Tak lupa juga, akting sempurnasi Joker (Heath Ledger) yang membuat tokoh ini sangat sentral-jika tak boleh dikatakan lebih baik dari Christian Bale sendiri- pantas dijadikan dedikasi terakhir yang indah bagi Ledger. Disamping akting bintang kawakan semacam Morgan Freaman sebagai pengikut setia Batman yang tampil meyakinkan.
Tak pelak kritikan positif layak diberikan untuk sekuel ini. Sebuah harian terkemuka dalam review-nya menyatakan dengan kelengkapannya "The Dark Knight" adalah film action terbaik saat ini. Sudut pandang bisa dilihat dari mana saja. Tetapi film ini cukup memuaskan hausnya ekspektasi penggemar yang lumayan penasaran menunggu selama tiga tahun.