Marhaban Ya Ramadhan


 
 Assalamu'alaikum Waramatullahi Wabarakatuh.

Untuk Semua teman dan Saudara semua...
Dengan segala kerendahan hati, Saya Mohon Maaf Lahir
dan batin atas segala kesalahan hati, kata, tulisan dan
perbuatan yang saya buat selama ini. Sengaja maupun tak disengaja.

Selamat menunaikan ibadah di Bulan Suci Romadhon 1429H

semoga semua amalan kita diterima Allah SWT dan
dapat menjadi pendamping kita di alam akhirat nanti.
Amien...
Wassalamu'alaikum Waramatullahi Wabarakatuh.

sumber ilustrasi; Kapanlagi.com

[+/-] Selengkapnya...

Andai Obama Calon Presiden Indonesia.



Begitu pentingnya seorang pemimpin bagi sebuah bangsa. Begitu gempita- nya sekelompok rakyat menyambut pemimpin baru dengan segudang harapan. Barack Obama belum juga terpilih sebagai Presiden Amerika. Tetapi apa yang masyarakat Amerika dan dunia nantikan seperti layaknya pemimpin baru yang akan mengubah semuanya.
Pagi tadi kiblat berita dunia ada di Amerika dengan adanya konvensi Partai Demokrat di Denver, Colorado, Amerika.
Pengukuhan Obama sebagai calaon dari Demokrat seperti perayaan kemenangan rakyat Amerika. Obama layaknya cahaya terang untuk masa depan Amerika. Amerika dinilai salah arah di bawah pimpinan George Walker Bush. Memang tak lebih dari sebuah harapan. Tetapi bukankah harapan adalah awal dari sebuah jalan. Jalan terang karena kita berpikiran terang. Keyakinan karena kita memulai dengan keyakinan. Obama adalah sebuah keyakinan akan harapan baru Amerika.Obama adalah sebuah Tokoh tepat di waktu yang tepat bagi masa depan Amerika.
Bagaimana dengan Indonesia?
Bukan maksud membandingkan langsung Indonesia dengan Amerika. Karena pengalaman peradaban kita jauhlah berbeda. Tetapi perlu dicatat bahwa kita ada di waktu yang sama. Tak salahlah kita belajar dari mereka.
Sebagaimana telah kita ketahui, Obama bukan hanya tokoh citra dan rekayasa media semata. Dalam kampanye program-programnya, begitu detailnya seorang Obama menyampaikan kebutuhan dan harapan rakyat Amerika.
Amerika seperti tampak kecil dengan pengharapan mereka kepada perubahan. Bangsa sebesar Amerika-pun menanti pemimpin yang membawa perubahan. Amerika sedang menanti "Sang Satria Piningit" dalam istilah perpolitikan kita.
Membandingkan kita dengan Amerika mungkin sebuah guyonan. Tetapi membicarakan topik serupa dengan kasus berbeda adalah kewajaran. Berandai Obama Presiden kita bukanlah kebijakan. Tetapi berharap kita punya pemimpin sebesar Obama adalah sebuah keoptimisan. Pasca Sukarno-Hatta kita memang sepi pemimpin Inspiratif. Kita masih terus setia menanti..
Pidato dan Orasi pemimpin berkharisma sangat memberi kekuatan pada rakyatnya. Memang janji harapan hanyalah sebuah awal, karena akan berhutang dengan pembuktian. Tetapi ibarat langkah, kita berada di jalan yang benar dan arah yang benar. Andaikan Obama Calon Presiden Indonesia, kita mungkin juga punya harapan sebesar Amerika. Bilapun masih sebuah harapan, harapan yang berarti Doa kita bersama...

[+/-] Selengkapnya...

"Rindu Alam" yang Selalu Dirindu...



Petualangan, kenekatan dan sensasi keindahan alam yang menyatu dalam satu ungkapan; Hari tak terlupakan. Berkali-kali kuhapus ungkapan dan kata di tulisan  ini, hanya untuk mendapatkan gambaran perjalalan Minggu 24 Agustus 2008 lalu dalam rangkaian cerita yang lengkap dan mewakili semuanya. Tapi tetap saja gambaran sebenarnya tak bisa kuungkapkan.

Empat luka, kelelahan luar biasa, bersepeda di alam liar sejauh total tak kurang 20-an km antara Puncak turun ke Bogor  adalah serpihan cerita yang bisa aku tuliskan. Perjalanan dimulai seperti minggu lalu -waktu mencoba trek hutan UI- dari stasiun Kalibata. Tiket KRL super ekonomi setara sebotol Aqua dingin mengantar kami ke Stasiun Bogor. Tiba di kota hujan sekitar pukul 07.15 WIB. Selepas "Nyabu" rombongan yang berjumlah 13 orang memulai petualangan ke Puncak Pass. Karena realitas jarak dan waktu (dan tanjakan tentunya) kami menyarter tiga buah angkot mengangkut sepeda kami ke lokasi start petualangan. Baranangsiang-Puncak seharga Rp.100.000,- per angkot, harga yang sepadan dengan jauhnya dan tingginya lokasi. Angkot carteran kami berhenti di sekitar gapura perbatasan Kabupaten Cianjur,tepatnya di sekitar rumah makan "Rindu Alam".Itulah kenapa jalur ini dinamakan jalur Rindu Alam.
Pukul 10.00 WIB setelah istirahat dan merakit kembali sepeda kami, perjalanan panjang dan sangat melelahkan dimulai. Menyusuri jalur perkebunan teh yang berbatu dan berkontur naik turun tak beraturan membuat nyali sedikit surut. Faktor pengalaman tentunya yang menentukan bagaimana perjalanan ini dilalui. Keberanian mungkin modal utama yang harus kita punyai untuk menghapus semua keraguan.

Sensasi Keindahan alam yang silih berganti menyapa kami.
Rute perkebunan teh memang mempunyai porsi paling banyak disamping perkebunan sayur-sayuran, sawah, bukit ilalang dan hutan lindung. Perjalanan seperti membaca sebuah buku petualangan dalam satu hari tanpa henti, jalur Perkebunan teh berbatu terjal, sungai kecil yang licin, hutan lindung yang suram seperti silih berganti menyapa kita. Belum lagi tempat-tempat yang sebelumnya belum sempat aku kunjungi seperti; Pabrik Teh "Gunung Mas",Taman Safari Cisarua. Sensasi alam yang berganti- ganti tak hentinya membuat kita merasa kecil di alam ini. Inilah sebagian kecil Ciptaan Allah SWT yang baru bisa kita rasakan. Subhanallah...
Selepas Makan siang, shalat dan istirahat sejenak setelah dihajar hujan, perjalanan ternyata belum usai juga. Selepas Taman Safari Cisarua perjalanan justru didominasi tanjakan. Tanjakan "ngehek" yang bener-bener kita tersengal-sengal karena panjang dan tak putus-putus adalah cuma awal perjalanan . Tanjakan tak putus-putusnya menantang kami sampai dengan klimaksanya di "Puncak Pyramid". Selepas Ashar disaat tenaga telah terkuras akhirnya sebuah lintasan turunan menjadi hadiah kelelahan kita. Turunan aspal halus mengantar kami sampai ke Depan RM. Sederhana Gadog.

Rute yang tak terbayangkan sebelumnya.
Perjalanan sesi terakhir dengan sisa tenaga kami menelusuri sisi sungai Ciliwung sampai ke kota Bogor. Bendung Katulampa, jalanan aspal biasa nan halus, perkampungan kerajinan Tas Tajur  menjadi hiburan visual perjalanan akhir kami. Kelelahan luar biasa aku rasakan sempat agak membuat aku terluka. Terjatuh karena tak melihat polisi tidur yang melintang menyisakan empat luka di lutut dan lenganku. Wow oleh oleh yang lengkap yang menyisakan kenangan yang tak terlupa.
Tak apalah aku terluka
Bukankah sebuah peristiwa akan selalu teringan bila kita tergores oleh luka
.
Ah sedap...

NB: Photo perjalanan lebih lengkap ada di Multiply

[+/-] Selengkapnya...

"Merdeka" di Hutan UI


Merdeka.....!!!
Makna kemerdekaan dapat kita raih dengan berbagai cara. Karena hakikatnya kita adalah insan merdeka. Pagi ini makna kemerdekaan aku jalani dengan sebuah kemerdekaan untuk menikmati sebuah kegiatan baru. Bersepeda sebuah impian yang tak mudah hanya untuk sekedar memerdekakan pikiran kita. Kepenatan dan rutinitas status karyawan membuat seakan kita terjajah oleh sebuah hitungan statistik perusahaan, kita tak lebih dari angka dan angka .
Hari ini adalah Hari kemerdekaan, teriaklah merdeka....

Pagi buta, perjalanan dimulai dari stasiun Kalibata Jakarta Selatan. Dengan tiket Rp.1.500,- kita mulai penjelajahan menuju stasiun UI yang berjarak 10-an kilometer. Dengan realitas waktu dan jarak, kita harus menuju depok dengan ber-KRL sebelum hari beranjak terik. Sepeda kita ikut menikmati bagaimana ber-kereta rakyat. Kita rasakan satu makna kemerdekaan, sepeda bisa masuk kereta dan ini bukan hanya di Indonesia to? indahnya Perjalanan menuju kemerdekaan sejati.

Jalur sepeda sebagai  simbol kemerdekaan baru warga UI, khususnya pengendara sepeda.


Jalur Paving Block belum sepenuhnya selesai, kita mentok oleh parit.
Janjian dengan beberapa teman baru di stasiun kampus di selatan Jakarta. Pukul 07-an perjalanan dimulai, dengan personel yang beragam mulai dari Kemayoran sampai aku yang dari Ciputat. Memasuki jalur sepeda yang menjadi satu kebanggan baru warga UI. Jalur selebar 2 meter dibuat khusus untuk pengendara sepeda  mengelilingi area kampus seluas ratusan hektar (aku juga belum tau pasti luas sebenarnya).
Perjalanan tak semulus yang dibayangkan. Ternyata ada jalur yang belum selesai dibangun. Jalur sepeda masih terputus oleh sungai kecil dan lahan yang sulit dikerjakan. Perjalanan paling menantang adalah menyusuri "jalan tanah" di dalam lebatnya hutan UI. Trek terjal di dalam lebatnya hutan UI di sekitar jalur "mangkok", istilah yang diberikan para Biker untuk area ini karena turun dan naik secara tajam seperti mangkok. Pertama kali bukan berarti menakutkan bagi aku. Keberanian adalah apa yang kita putuskan di awal. Wow sebuah penjelajahan baru yang mengesankan. Makna kemerdekaan kembali aku dapatkan di hutan ini.

Akhir Petualangan di Logo Kampus Universitas Indonesia. Kita Merdeka di sini.
Perjalanan berakhir di Logo tulisan UNIVERSITAS INDONESIA. Simbol kemerdekaan berpikir dan berproses warga UI. Kemerdekaan yang menggambarkan kemerdekaan kita berenam di hari kemerdekaan ini. Merdeka di hutan UI...

NB: Perjalanan lebih lengkap ada di My Multiply

[+/-] Selengkapnya...

Makna Kemerdekaan yang "Tercecer"...


Kemerdekaan, sebuah anugerah setiap insan manusia. Di dalam sebuah bangunan masyarakat dan negara sekalipun kemerdekaan adalah sebuah keniscayan untuk membangun. Makna hari kemerdekaan adalah sebuah puncak evaluasi kita dalam bergerak.
Faktanya Kita sudah merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945, artinya kita sudah 63 tahun merdeka. Analogi sebuah kehidupan adalah satu generasi merajut kehidupan utuh satu generasi manusia. Tetapi sudahkah kita merdeka?...
Di media, menjelang perayaan Hari Kemerdekaan ke-63 banyak opini tentang makna hakekat kemerdekaan yang sesungguhnya. Kita merasa belum merdeka kata sebuah media, karena kita masih dibelit bermacam permasalahan rakyat. Kemiskinan, pengangguran, kesempatan pendidikan rakyat salah satu parameter belum merdekanya kita secara harfiah. Kita sudah merdeka, tetapi belum sepenuhnya merdeka. Benarkah?
Makna kemerdekaan seakan tercecer ke sana kemari dari sekedar pendapat sederhana 220-an juta rakyat. Kemerdekaan  bernada "Pesimis" menjadi makna Merdeka yang tercerai berai.
Bagiku kemerdekaan adalah sebuah sikap. Kenyataan bisa jadi lain, tetapi bukan pada sikap kita. Setiap tanggal 17 Agustus dan hari-hari kita adalah kesempatan untuk merdeka. Bila pun bangsa belum merdeka dalam menentukan arah dan tujuan. Sikap merdeka harus ada di setiap jiwa kita.
Kenapa takut berteriak "Merdeka"?
Merdeka ada setiap hati dan jiwa kita.
Merdeka sebagai manusia...
"Kita"...adalah "Kemerdekaan" itu sendiri...

[+/-] Selengkapnya...

Antara Alaska dan Puncak


Hidup tak lepas dari sebuah pencarian dan kegelisahan berkelanjutan. Pencarian yang bisa jadi harus kita tebus dengan sesuatu yang mungkin tak akan bisa dipahami banyak orang. Kegelisahan juga kadang menjadi wujud eksistensi bahwa kita "ada dan mencoba ada".
Weekend kemarin di sela waktu istirahat akhir minggu, tak sadar tersentuh dengan pesan sebuah film garapan Sean Penn. “Into the Wild" diangkat dari kisah nyata perjalanan seorang diri Crishtoper McCandless berproses dalam pencarian makna kebebasan dan kebahagiaan hidup. Merelakan uang tabungan untuk amal, meninggalkan semua kemewahan dunia dan segala tempelannya demi satu obsesi gila, menembus pedalaman Alaska mencari makna hidup sesungguhnya yang kini belum dia temukan.
Seperti sebuah episode kejadian berhikmah, malamnya dengan rencana sepontan dengan temenku, berempat tengah malam melakukan Touring Motor kecil-kecilan ke kawasan Pucak. Perjalanan ini mengingatkanku kesan perjalanan Mc Candless ke pedalaman Alaska. Dingin mencekat ketika perjalanan baru sampai perempatan Gadog.
Lewat pukul satu Perjalanan berhenti, untuk shalat dan istirahat melihat panorama Puncak Malam hari, tepatnya areal masjid At-Ta'awun. Cuaca berkabut dan dngin mencekat, tetapi kusempatkan berpikir sejenak diantara obrolan canda dengan teman. Bagaimana rasanya jika di pedalaman Alaska ya?
Bisa jadi pada titik ini aku mulai memahami bagaimana keras kepalanya McCandless mencari apa yang menjadi pencarian hidup dia. Kebahagiaan macam apa yang dia cari dengan berselaras dan menyendiri dengan alam, yang justru membunuh dia dengan keganasanya.
Jika aku ke puncak kemarin cuma mengikuti sebuah rasa penasaran:
>"Mengapa kita perlu naik ke tempat Tertinggi?".
>Sepontan aku dapat jawaban bahwa di tempat tertinggi kau akan menemukan dan
melihat sesuatu dengan berbeda".

Mungkin begitulah kita seharusnya menghadapi permasalahan hidup.Kita lihat semuanya dari atas (baca segalanya) biar kita bijak menghadapinya.
Pencarian McCandless sendiri berakhir pada satu pemahaman bahwa kesendirian dia menembus Alaska mencari kebahagiaan terbentur keadaan sebuah kesadaran dia, Bahwa kebahagiaan yang tidak bisa dibagi bukanlah kebahagiaan...Happiness is only real when its shared.
Bisa jadi dua hal dan kejadian yang terlalu maksa aku hubungkan.
Puncak dan Alaska memang tempat jauh berbeda, dan akan lebih berbeda jika kita memahami dengan perasaan berbeda. Tapi empat pencarian hidup kita bisa jadi akan berakhir dimana saja. Tapi yang paling penting, setiap orang tak akan pernah lelah mencari makna hidup. Pencarian yang tak akan bisa dipahami setiap manusia. Karena Hidup memang kadang tak butuh pemahaman dan pengakuan...huff..

[+/-] Selengkapnya...

The Mummy 3 ; untuk Seru-Seruan Saja


Sekuel ketiga petualangan keluarga O'Connel  kali ini tak semenggigit dua judul sebelumnya ; The Mummy (1999) dan The Mummy Return (2001), atau spin off-nya The Scorpion King (2002). Jika kita bertanya tentang bagamana dasyatnya adegan dengan visual effect-nya tentu ekspektasi kita akan terpenuhi. Tetapi diluar kedasyatan, sepertinya ada beberapa bagian yang kurang memuaskan dan kadang terlihat agak dipaksakan.
Bercerita awal tentang terperangkapnya Kaisar Han (diperankan Jet Li)
-yang berambisi hidup abadi- oleh mantra Zijuan (Michelle Yeoh). Kebadian yang jutru berwujud dalam terracotta akhirnya berubah menjadi awal malapetaka ketika Alex atau O’Connel junior-yang sudah menginjak 20 tahunan umurnya- menemukan situs ini. Di samping itu seorang jendral pemerintahan berambisi membangkitkan sang kaisar untuk kepentingan kekuasaanya.
Kembali turun tangannya Rick O’Connel (Brendan Fraser) dan istrinya Evelyn (Maria Bello) -yang sudah pensiun- mencegah terjadinya malapetaka yang lebih besar menjadi rangkaian cerita yang seru.
Secara cerita memang tak ada yang baru. Sudah tak perkasanya O’Connel senior dan istrinya mejadi satu alasna film ini jadi agak kurang greget. Kehadiran Jet Li, Michelle Yeoh dan sang pemanis Isabelle Leong yang lebih punya "cita rasa loka” satu sisi memang menjadi film terasa hidup. Tetapi modal serunya film-film sebelumnya jutru membuat ekspektasi penonton menjadi lebih, dan bukan sekedar seru.
Joke-joke Brendan Fraser dengan Evelyn terlihat kaku dan kurang cair. Ini mungkin yang membuat kita menyadari alasan kuat Rachel Weisz menolak peran Evelyn di sekuel ini. Bebarapa adegan yang sebenarnya agak perlu dipertanyakan, seperti renggangnya hubungan Rick dan Alex yang kurang dijelaskan. Faktor Jet Li dan si Yeoh yang akan kita tunggu permainan jurus yang khas kurang diekplorasi untuk aktor dan aktris sekelas mereka. Faktor Isabelle Leong sebagai Li sendiri hanya hadir tak lebih sebagai pemikat pria (Siapa lagi jika bukan si Alex).
Keseruan setiap adegan pertarungan dan Visual efek yang sempurna mungkin menjdi alasan terakhir kita mengikuti cerita sampai tuntas. Tapi bagaimanapun, Film petualangan semacam ini sepertinya tetap masih punya tempat di hati kita untuk pergi ke Bioskop. Haha...

[+/-] Selengkapnya...

Presiden Tua vs Presiden Muda


Pro-kontra tentang umur calon presiden seperti jadi tema usang dengan cover baru menjelang pesta demokrasi Indonesia delapan bulan lagi. Tetapi belakangan tema ini semakin menggelinding menjadi sebuah narasi besar diskusi masa depan kepemimpinan Indonesia. Bila dalam tulisanku tentang "kepemimpinan" sebelumnya aku bercerita tentang karakter pemimpin yang kita butuhkan. Sekarang aku lebih tertarik bicara sudut pandang Calon Presiden Indonesia di 2009 nanti.

Perdebatan Presiden Tua-Muda ini seakan menjadi obrolan yang ngalor ngidul yang berpotensi adanya distorsi wacana tentang kepemimpinan itu sendiri. Kasus pancingan Presiden PKS di Musykernas di Makassar tentang saatnya kaum tua minggir untuk memberi kesempatan muda meminggir dihadapi sinis oleh kaum muda (dalam hal ini Megawati yang digambarkan berang oleh Media). Sebetulnya urusan tua-muda bukan esensi utama dari president kita, tetapi esensi "perubahan dalam kepemimpinan" yang seharusnya jadi narasi utama yang terus menggelinding mendekati pergantian RI1.

Dalam Debat dan diskusi tua-muda ini di beberapa TV ("Debat" di TVOne dan Today's Dialog" di MetroTV) beberapa hari lalu, nampak sekali benturan ini rentan masuk pada perdebatan yang tidak cerdas dan elegan dan akhirnya menimbulkan kedengkian antar elemen masyarakat. Dalam pandanganku wacana yang seharusnya adalah tema perubahan itu sendiri, dan akan terjadi blunder politik jika isu ini tidak dikemas dengan baik, misal dikotomi tua muda itu sendiri. Tema akan lebih menarik jika Muda diartikan dalam pemikiran yang inovasi dan punya visi ke depan memperbaiki bangsa

Demam Obama dan angin perubahan dari Kaum Muda
Demam Obama sepertinya turut membawa optimisme angin perubahan politik Amerika dan Dunia. Tokoh "Balita" dari partai demokrat AS ini seakan menginspirasi Kaum muda untuk maju memimpin, tak terkecuali Indonesia. Beberapa tokoh muda mulai berani mencitrakan diri sebagai calon, walaupun sebagian masih belum secara terang-terangan. Fadjroel Rahman, mantan aktivis mahasiswa yang pernah jadi tahanan politik, Prabowo ketua HKTI dan mantan Komandan Kopassus, Tifatul ketua umum PKS (belum jelas juga maksudnya), Sutrisno Bachir ketua umum PAN (belum jelas juga arah iklannya), dan Rizal Mallarangeng  yang Kita Kenal sebagai host di "Save Our Nation" di MetroTV) adalah sebagian tokoh yang mengemuka. Semua sadar Pencitraan adalah modal penting seorang tokoh politik di era Informasi ini. Salah satunya lewat Iklan Politik untuk perkenalan diri ke masyarakat. Seberapa besar efektifnya harus kita lihat perkembangan ke depan. Tetapi sejauh yang aku aku lihat, apa yang mereka tawarkan belum terlihat jelas dan belum benyak beda dari sebelumnya.

Pemimpin Muda : Kenapa tidak?

Intinya sih aku tak mau mengkotakkan capres harus tua atau Muda.
Tetapi Negeri ini perlu perubahan...
Perlu digarisbawahi, jikalau masih berharap  pada yang tua sampai kapan kita harus berharap?
Dalam pandangan Yasraf Amir Piliang ;Bangsa-bangsa tak lagi dapat dipimpin generasi lama. Diperlukan pemimpin "Generasi Kuantum, "Pemimpin Muda"yang mampu secara cepat mengelola elemen sosial, ekonomi, politik, budaya dengan cepat dan adaptif terhadap perubahan yang terjadi (baca opini Kompas 22 Juli 2008). Pertanyaannya selanjutnya tentu kembali lagi ke kemampuan pemimpin. Satu dasawarsa cukup untuk yang tua berkuasa, bukan maksud mencela tetapi lebih ke evaluasi.
Kepemimpinan butuh perubahan, jika satu gagal kenapa tak coba yang lain?.
Jika yang tua gagal, kenapa tak coba yang muda?

[+/-] Selengkapnya...